Delneming adalah
tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang, artinya ada orang lain
dalam jumlah tertentu yang turut serta, turut campur, turut berbuat membantu
melakukan agar suatu tindak pidana itu terjadi, atau dalam kata lain, orang
yang lebih dari satu orang secara bersama-sama melakukan tindak pidana,
sehingga harus cari pertanggungjawaban dan peranan masing-masing peserta dalam
persitiwa pidana tersebut.
Tujuan deelneming adalah untuk minta
pertanggungjawaban terhadap orang-orang yang ikut ambil bagian sehingga
terjadinya suatu tindak pidana.
Hubungan antar peserta
dalam menyelesaikan tindak pidana tersebut, adalah :
1. Bersama-sama melakukan kejahatan.
2. Seorang mempunyai kehendak dan
merencanakan suatu kejahatan sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk
melaksanakan tindak pidana tersebut.
3. Seorang saja yang melaksanakan tindak
pidana, sedangkan orang lain membantu melaksanakan tindak pidana tersebut.
Penyertaan dapat dibagi
menurut sifatnya :
1. Bentuk penyertaan berdiri sendiri: mereka yang
melakukan dan yang turut serta melakukan tindak pidana. Pertanggung jawaban
masing2 peserta dinilai senidiri-sendiri atas segala perbuatan yang dilakukan.
2. Bentuk penyertaan yang tidak berdiri
sendiri: pembujuk, pembantu, dan yang menyuruh untuk melakukan tindak pidana.
Pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantungkan pada perbuatan peserta
lain. Apabila peserta satu dihukum yang lain juga.
Di dalam KUHP terdapat 2
bentuk penyertaan:
1. Para Pembuat (mededader) pasal 55 KUHP,
yaitu:
a. yang melakukan (plegen)
b. yang menyuruh melakukan (doen plegen)
c. yang turut serta melakukan (mede plegen)
d. yang sengaja menganjurkan (uitlokken)
2. Pembuat Pembantu (madeplichtigheid) 56
KUHP
Pasal 56 KUHP menyebutkan
pembantu kejahatan:
a. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada
waktu/saat kejahatan dilakukan.
b. Mereka yang memberi kesempatan sarana atau
keterangan untuk melakukan kejahatan (sebelum kejahatan dilakukan)
Dengan demikian dapat diketahui siapa saja
orang yang dapat membuat tindak pidana dan siapa pula yang terlibat dalam
terwujudnya tindak pidana :
1. Pembuat tunggal (dader), kriterianya: (a)
dalam mewujudkan tindak pidana tidak ada keterlibatan orang lain baik secara
fisik maupun psikis; (b) dia melakukan perbuatan yang telah memenuhi seluruh
unsur tindak pidana dalam undang-undang.
2. Para pembuat, ada 4 bentuk
3. Pembuat Pembantu.
Perbedaan antara para pembuat dengan pembuat
pembantu adalah: para pembuat (mededader) secara langsung turut serta dalam
pelaksanaan tindak pidana, sedangkan pembuat pembantu hanya memberi bantuan
yang sedikit atau banyak bermanfaat dalam melaksanakan tindak pidana.
Pembuat yang dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1)
adalah ia tidak melakukan tindap pidana secara pribadi, melainkan secara
bersama-sama dengan orang lain dalam mewujudkan tindak pidana. Apabila dilihat
dari perbuatan masing2 peserta berdiri sendiri, tetapi hanya memenuhi sebagian
unsur tindak pidana. Dengan demikian semua unsur tindak pidana terpenuhi tidak
oleh perbuatan satu peserta, tetapi oleh rangkaian perbuatan semua peserta.
Apabila dalam suatu tindak pidana tersangkut
beberapa orang, maka pertanggungjawaban masing-masing orang yang melakukannya
adalah tidak sama, tergantung pada hubungan peserta tsb terhadap perbuatan yang
dilakukannya dalam suatu tindak pidana tsb.
Berdasarkan pendapat dari para ahli, deelneming terbagi menjadi 2 bagian, yaitu :
1. Zelfstandige deelneming (Deelneming yang
berdiri sendiri)
Artinya orang yang turut melakukan tindak
pidana pidana tsb diminta pertanggungjawabannya secara sendiri.
2. On Zelfstanddige deelneming (Deelneming
yang tidak berdiri sendiri)
Artinya pertangungjawaban orang yang turut
melakukan tindak pidana pidana tsb digantungkan kepada orang lain yang turut
melakukannya juga.
Orang-orang yang
melakukannya dapat dibagi atas 4 macam, yaitu :
1. Pleger (Orang yang melakukan).
Mereka yang termasuk golongan ini adalah
pelaku tindak pidana yang melakukan perbuatannya sendiri, baik dengan memakai
alat maupun tidak memakai alat. Dengan kata lain, pleger adalah mereka yang
memenuhi seluruh unsur yang ada dalam suatu perumusan karakteristik delik
pidana dalam setiap pasal.
2. Doen Pleger (Orang yang menyuruh untuk
melakukan)
Untuk dapat dikategorikan sebagai doen pleger
sedikitnya harus ada dua orang, yaitu ada yang menyuruh (Doen Pleger) dan yang
disuruh (Pleger).
Sebab Doen Pleger adalah seseorang yang ingin
melakukan tindak pidana, tetapi dia tidak melakukannya sendiri melainkan
menggunakan atau menyuruh orang lain, dengan catatan yang dipakai atau disuruh
tidak bisa menolak atau menentang kehendak orang yang menyuruh melakukan. Dalam
posisi yang demikian, Orang yang disuruh melakukan itu harus pula hanya sekedar
menjadi alat (instrumen) belaka, dan perbutan itu sepenuhnya dikendalikan oleh
orang yang menyuruh melakukan. Sesungguhnya yang benar-benar melakukan tindak
pidana langsung adalah orang yang disuruh melakukan, tetapi yang bertanggung
jawab adalah orang lain, yaitu orang yang menyuruh melakukan. Hal ini
disebabkan orang yang disuruh melakukan secara hukum tidak bisa dipersalahkan
atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Orang yang disuruh mempunyai "dasar-dasar
yang menghilangkan sifat pidana. Sebagaimana diatur dalam Pasal 44, 48, 49, 50
dan 51 KUH Pidana.
Contoh kasus :
Seorang Perwira Polisi bernama A ingin
membalas dendam kepada seorang musuhnya bernama B, untuk melakukan keinginannya
tsb ia memerintahkan bawahannya, seorang Bintara Polisi bernama C untuk
menangkap B atas tuduhan telah melakukan suatu tindak pidana pencurian.
Dalam hal ini C tidak dapat dihukum atas
perampasan kemerdekaan seseorang karena ia berada dibawah perintah dan ia
menyangka perintah itu ialah perintah syah. Sedangkan yang dapat dihukum atas
tuduhan perampasan kemerdekaan ialah sang Perwira Polisi bernama A.
3. Medepleger (Orang yang turut melakukan).
Turut melakukan berarti bersama-sama
melakukan suatu tindak pidana. Sedikitnya harus ada 2 orang, ialah yang
melakukan (Pleger) dan orang yang turut melakukan (Medepleger) tindak pidana
tsb. Kedua orang ini kesemuanya melakukan perbuatan pelaksanaan suatu tindak
pidana tsb.
Ada 2 syarat bagi adanya turut melakukan
tindak pidana :
1. Kerjasama yang disadari antara para pelaku
atau dalam kata lain suatu kehendak bersama antara mereka.
2. Mereka harus bersama-sama melaksanakan
kehendak itu (kerjasama secara fisik).
Contoh kasus :
A dan B berniat mencuri dirumah C. A masuk
dari atap rumah lalu membuka pintu untuk B dapat masuk, Kedua-duanya masuk
kedalam rumah dan mengambil barang milik C.
Disini C dihukum sebagai “Medepleger” karena
melakukan perbuatan pelaksanaan pencurian tsb.
4. Uitlokker (orang yang membujuk untuk
melakukan)
Secara sederhana pengertian uitlokker adalah
setiap orang yang menggerakkan atau membujuk orang lain untuk melakukan suatu
tindak pidana. Istilah "menggerakkan" atau "membujuk" ruang
lingkup pengertiannya sudah dibatasi oleh Pasal 55 ayat (1) bagian 1 KUH Pidana
yaitu dengan cara memberikan atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan
kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, memberi
kesempatan, sarana dan keterangan. Berbeda dengan "orang yang disuruh
melakukan", "orang yang dibujuk tetap" dapat dihukum, karena dia
masih tetap mempunyai kesempatan untuk menghindari perbuatan yang dibujukkan
kepadanya. Tanggung jawab orang yang membujuk (uitlokker) hanya terbatas pada
tindakan dan akibat-akibat dari perbuatan yang dibujuknya, selebih tanggung
jawab yang dibujuk sendiri.
Semua golongan yang disebut Pasal 55 KUH
Pidana tergolong kepada pelaku tindak pidana, sehingga hukuman buat mereka juga
disamakan. Sebaliknya, Pasal 56 KUH Pidana mengatur mengenai orang digolongkan
sebagai "orang yang membantu" melakukan tindak pidana (medeplichtig)
atau "pembantu". Orang dikatakan termasuk sebagai "yang
membantu" tindak pidana jika ia memberikan bantuan kepada pelaku pada saat
atau sebelum tindak pidana tersebut dilakukan. Apabilan bantuan diberikan sesudah
tindakan, tidak lagi termasuk "orang yang membantu" tetapi termasuk
sebagai penadah atau persekongkolan. Sifat bantuan bisa berbentuk apa saja,
baik materil maupun moral. Tetapi antara bantuan yang diberikan dengan hasil
bantuannya harus ada sebab akibat yang jelas dan berhubungan. Begitupula sifat
bantuan harus benar-benar dalam taraf membantu dan bukan merupakan suatu
tindakan yang berdiri sendiri. Perbuatan yang sudah berdiri sendiri tidak lagi
termasuk "turut membantu" tetapi sudh menjadi "turut melakukan".
Inisiatif atau niat harus pula datang dari pihak yang diberi bantuan, sebab
jika inisiatif atau niat itu berasal dari orang yang memberi bantuan, sudah
termasuk dalam golongan "membujuk melakukan" (uitlokker).
Seseorang dengan sengaja membujuk seseorang
untuk melakukan suatu tindak pidana dengan memakai bujuk rayu, pemberian, salah
memakai kekuasaan, dsb. Sedikitnya harus ada 2 orang, yaitu yang membujuk dan
yang dibujuk.
Kasus Antasari Azhar.
Antasari diduga meminta Kombes Pol Williardi
Wizard untuk membantu mancari orang untuk dapat membantu melakukan suatu tindak
pidana pembunuhan. Williardi menyuruh Jerry Hermawan Lo dan Edo untuk membunuh
Nasruddin Zulkarnaen seorang, Direktur PT. Putra Rajawali Banjaran (PRB).
Dalam kasus ini Antasari Azhar dan Williardi
Wizard dapat sebagai Uitlokker, karena telah membujuk seseorang untuk melakukan
suatu tindak pidana pembunuhan terhadap Nasruddin Zulkarnain.
Orang yang sengaja
menganjurkan (pembuat penganjur: uitlokker/aktor intelektualis), unsur-unsurnya
adalah:
1. Unsur obyektif:
a. Unsur perbuatan, adalah menganjurkan orang
lain melakukan perbuatan
b. Caranya ialah:
1) Memberikan sesuatu
2) Menjanjikan sesuatu
3) Menyalahgunakan kekuasaan
4) Menyalahgunakan martabat/jabatan
5) Kekerasan
6) Ancaman
7) Penyesatan
8) Memberi kesempatan
9) Memberi sarana
10) Memberi keterangan.
2. Unsur subyektif: dengan sengaja.
Ada 5 syarat dari seorang pembuat penganjur /
pembujuk :
1. Kesengajaan si pembuat penganjur yang
harus ditujukan pada 4 hal :
a. Ditujukan pada digunakannya upaya-upaya
penganjuran.
b. Ditujukan pada mewujudkan perbuatan
menganjurkan beserta akibatnya
c. Ditujukan pada orang lain untuk melakukan
perbuatan. Kesengajaan itu harus ditujukan agar orang lain itu melakukan tindak
pidana.
Contoh:
A dengan menjanjikan upah sebesar 20 juta
kepada B untuk membunuh C. perbuatan yang dimaksud adalah tindak pidana pembunuhan.
Di sini kesengajaan A ditujukan pada B untuk melakukan pembunuhan.
Dalam hal ini tidak ditujukan pada orang
satu-satunya (B) karena bisa saja yang melaksanakan pembunuhan itu orang lain.
d. Ditujukan pada orang lain yang mampu
bertanggung jawab atau dapat dipidana. Hal ini penting untuk membedakan dengan
pembuat penyuruh (Doen Pleger)
2. Dalam melakukan perbuatan meganjurkan
harus menggunakan cara-cara menganjurkan sebagaimana Pasal 55 ayat (1) dan 2.
Tidaklah boleh dengan menggunakan upaya lain,
misalnya menghimbau. Hal ini yang membedakan antara pembuat penganjur dengan
pembuat penyuruh. Pada pembuat penyuruh dapat menggunakan segala cara, asalkan
pembuat materiilnya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
a. Memberikan sesuatu.
Sesuatu di sini hrs berharga, sebab kalau
tidak tidak berarti apa-apa/tidak dapat mempengaruhi orang yang dianjurkan.
Misalnya uang, mobil, pekerjaan dsb. A memberikan uang 10 jt kepada B untuk
membunuh C.
b. Menjanjikan sesuatu
Janji adalah upaya yang dapat menimbulkan
kepercayaan bagi orang lain, janji itu belum diwujudkan, tetapi janji itu telah
menimbulkan kepercayaan untuk dipenuhi. A berjanji kepada B akan memberikan
uang jika berhasil membunuh C
c. Menyalahgunakan kekuasaan.
Adalah menggunakan kekuasaan yang dimiliki
secara salah. Kekuasaan ini adalah kekuasaan dalam hubungannya dengan jabatan
atau pekerjaan. Oleh karena itu upaya menyalahgunakan kekuasaan di sini
diperlukan 2 syarat:
1. Upaya ini digunakan dalam hal yang
berhubungan atau dalam ruang lingkup tugas pekerjaan dari pemegang kekuasaan
dan orang yang ada di bawah pengaruh kekuasaan (orang yang dianjurkan)
2. Hubungan kekuasaan itu harus ada pada saat
dilakukannya upaya penganjuran dan pada saat pelaksanaan tindak pidana sesuai
dengan apa yang dianjurkan. Apabila hubungan kekuasaan itu telah putus, maka
tidak terdapat penganjuran, karenanya pelaku mempertanggungjawabkan sendiri
perbuatannya.
d. Menyalahgunakan martabat
Martabat di sini misalnya orang yang
mempunyai kedudukan terhormat, misalnya tokoh politik, pejabat publik, sperti
camat, todat, toga, tomas. Kedudukan seperti itu mempunyai kewibawaan yang
dapat memberikan pengaruh pada masyarakat atau orang2, pengaruh tsb dapat
disalahgunakan. (menyalahgunakan martabat)
e. Menggunakan kekerasan
Menggunakan kekuatan fisik pada orang lain
sehingga menimbulkan akibat ketidak berdayaan orang yang menerima kekerasan
itu. Tetepi syaratnya adalah berupa ketidakberdayaan yang sifatnya sedemikian
rupa sehingga dia masih memiliki kesempatan dan kemungkinan cukup untuk melawan
kekerasan itu tanpa resiko yang terlalu besar (menolak segala apa yang
dianjurkan)
f. Menggunakan ancaman
Ancaman adalah suatu paksaan yang bersifat
psikis yang menekan kehendak orang sedemikian rupa sehingga dia memutuskan
kehendak untuk menuruti apa yang dikehendaki oleh orang yang mengancam. Ancaman
juga menimbulkan ketidakberdayaan, tetapi tidak bersifat fisik, melainkan
psikis, misalnya menimbulkan rasa ketakutan, rasa curiga, was-was. Misalnya
akan dilaporkan akan dibuka rahasianya. Ancaman di sini juga hrs dapt
menimbulkan kepercayaan bhw yang diancamkan itu akan diwujudkan oleh pengancam.
Sebab kalau tidak ada kepercayaan, misalnya hanya bercanda saja, maka hanya
pembuat materiilnya saja yang dipidana.
g. Menggunakan penyesatan (kebohongan)
Berupa perbuatan yang sengaja dilakukan untuk
mengelabui atau mengkelirukan anggapan atau pendirian orang dengan segala
sesuatu yang isinya tidak benar atau bersifat palsu, sehingga orang itu menjadi
salah atau keliru dalam pendirian.
Perbedaan penyesatan dalam pembuat penyuruh
dan pembuat penganjur adalah:
1. Penyesatan pada bentuk pembuat pembuat
penyuruh adalah penyesatan yang ditujukan pada unsur tindak pidana, misal
penjahat yang menyuruh kuli untuk menurunkan sebuah kopor milik orang lain.
Tetapi penyesatan pada pembuat pengajur tidaklah ditujukan pada unsur tindak
pidana tetapi ditujukan pada unsur motif tindak pidana.
Contoh :
A sakit hati pada C dan karenanya A
mengehendaki agar C mengalami penderitaan. Untuk itu A menyampaikan berita
bohong yang menyesatkan B bahwa C telah berslingkuh dengan isterinya B dengan
membuat alibi (pernyataan) palsu, dan dengan sangat meyakinkan A menganjurkan
kepada B agar membunuh atau dianiaya saja C. penyesatan di sini adalah
ditujukan pada motif agar B sakit hati dan membenci C, atau memberikan dorongan
agar timbul sakit hati, benci dan dendam pada B, sehingga mendorong B untuk
melakukan sesuai dengan kehendak A. apabila B tersesat dalam pendirian dan
kemudian membunuh atau menganiaya C maka terjadi bentuk pembuat penganjur.
2. Berbuat karena tersesat dalam hal unsur
tindak pidana, pembuatnya tidak dapat dipidana. Di sini terjadi bentuk pembuat
penyuruh yang dipidana adalah pembuat penyuruhnya. Pembuat materiilnya tidak
dapat dipidana. Tetapi berbuat karena tersesat dalam hal unsur motif, yang
terjadi adalah bentuk pembuat penganjur, dimana keduanya sama2 dapat dipidana.
h. Memberikan kesempatan
Adalah memberikan peluang yang seluas-luasnya
bagi orang lain untuk melakukan tindak pidana. Ex: A penjaga gudang yang
menganjurkan kepada B untuk mencuri di gudang dengan kespakatan pembagian
hasilnya, sengaja memberi kesempatan kepada B untuk mencuri dengan berpura-pura
sakit sehingga pada malam itu dia absen dari tugasnya.
i. Memberikan sarana
Berupa memberikan alat atau bahan untuk
digunakan dalam melakukan tindak pidana. Misalnya A penjaga gudang sengaja
menganjurkan pada B untuk mencuri di gudang dengan kesepakatan bagi hasil
dengan cara memberikan kunci duplikat.
j. Memberikan keterangan
Memberikan informasi, berita-berita yang
berupa kalimat yang dapat menarik kehendak orang lain sehingga orang yang
menerima informasi itu timbul kehendaknya untuk melakukan suatu tindak pidana,
yang kemudian tindak pidana itu benar dilaksanakan.
3. Terbentuknya kehendak orang yang
dianjurkan (pembuat peklaksananya) untuk meakukan tindak pidana sesuai dengan
apa yang dianjurkan adalah disebabkan langsung oleh digunakannya upaya2
penganjuran oleh si pembuat penganjur. Di sini terjadi hubungan sebab akibat.
Sebab adalah digunakan upaya penganjuran, dan akibat adalah terbentuknya
kehendak orang yang dianjurkan. Jadi jelaslah inisiatif dalam hal penganjuran
selalu dan pasti berasal dari pembuat penganjur. Hal ini pula yang membedakan
dengan bentuk pembantuan. Pada pembantuan (pasal 56) inisiatif untuk mewujudkan
tindak pidana selalu berasal dari pembuat pelaksananya, dan bukan dari pembuat
pembantu.
4. Orang yang dianjurkan (pembuat
pelaksanaanya) telah melaksanakan tindak pidana sesuai dengan yang dianjurkan
5. Orang yang dianjurkan adalah orang yang
memiliki kemampuan bertanggungjawab
PERTANGGUNG JAWABAN DEELNEMING
Tujuan
dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah keberadaan
ajaran penyertaan sebagai perluasan delik dan perluasan pertanggungjawaban
pidana dan bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku dalam tindak pidana
penyertaan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat
disimpulkan: 1. Ajaran tentang penyertaan sebagai dasar memperluas dapat
dipidananya orang yang tersangkut dalam terwujudnya delik. Penyertaan diatur
dalam pasal 55 dan 56 KUHP yang berarti bahwa ada dua orang atau lebih yang
melakukan suatu tindak pidana atau dengan perkataan ada dua orang atau lebih
mengambil bagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana. 2. Secara skematis untuk
meminta pertanggungjawaban pidana kepada pembuat delik atau pidana dibagi
menjadi 2 (dua) yakni pertama, penanggungjawab penuh dan kedua, penanggungjawab
sebagian. Penangungjawab penuh sanksi pidana adalah mereka yang tergolong dader
sebagai penanggungjawab mandiri; mededader sebagai penanggungjawab bersama;
medeplegen sebagai penanggungjawab serta; doen plegen sebagai penanggungjawab
penyuruh; dan uitlokken sebagai penanggungjawab pembujuk atau perencana.
Sedangkan penanggungjawab sebagian adalah mereka yang tergolong sebagai poger
sebagai penanggungjawab percobaan : perbuatan pidana dan medeplichtige sebagai
penanggungjawab pemberi bantuan dalam melakukan perbuatan pidana.
Membaca rumusan pada tiap pasal ketentuan
hukum pidana,orang
berkesimpulan bahwa
dalam tiap tindak
pidana hanya ada seorang pelaku yang
akan kena hukuman 1Artikel
Skripsi. Dosen Pembimbing : Dr. Deasy Soeikromo, SH.MH;Fatmah Paparang, SH.MH;Roy Victor Karamoy, SH.MH2Mahasiswa
pada Fakultas Hukum
Unsrat. NIM. 100711214pidana.Dalam praktik
ternyata sering terjadi lebih dari seorang
terlibat dalam peristiwa tindak pidana. Di samping si pelaku ada seorang atau beberapa orang lain yang turut serta.Kata
"penyertaan" dalam judul
bab ini yang juga menjadi judul
dari titel V
Buku I KUHP berarti turut sertanya
seorang atau lebih
pada waktu
seorang lain melakukan
suatu tindak pidana.Rumusan ini terlihat pada Pasal 55 dan
Pasal
56 KUHP.Oleh
kedua pasal ini
diadakan lima golongan peserta tindak pidana yaitu yang melakukan
perbuatan (plegen,
dader), yang menyuruh
melakukan perbuatan (doen plegen, middelijke
dader),
yang turut melakukan perbuatan (medeplegen, mededader), yang membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitlokken, uitlokker), yang membantu perbuatan (medeplichtig zijn, medeplichtige).Konsep Ajaran Penyertaan
dalam Tindak Pidana
erat kaitannya dengan
perbuatan dan pertanggungjawaban pidana,konsep dasar pertanggungjawaban pidana merupakan konsep sebuah perbuatan
pidana. Jadi Ajaran Penyertaan
Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana
dalam hukum selalu
berpangkal tolak dari
Ajaran Penyertaan Pidana
dan Perbuatan Pidana dengan dimensi peran dalam penyertaanperbuatan pidana dalam
suatu tindak
pidana.Implementasi
hukum pidana berkaitan dengan pertanggunggjawaban pelaku berarti mengenakan sifat tercela dari perbuatan pidana pada orang itu sesuai dengan peran dan kapasitas
pelaku atau kontribusinya dalam mewujudkan
peristiwa pidana, sehingga
patut dijatuhkan
nestapa kepadanya. Jadi,
tolok ukur atau penentuan mengenai cakupan pertanggungjawaban
pidana sangat tergantung terhadap rumusan dan ruang lingkup perbuatan pidana
yang ditentukan sebelumnya serta konsep Ajaran
Penyertaan di dalam
hukum pidana
positif. Konsekuensinya akan
mengacu kepada
cara atau metode
yang digunakan dalam
menentukan rumusan objektif
suatu perbuatan
pidana dan Ajaran
Penyertaan Pidana,
sehingga cakupan dan
perubahan-perubahannya akan berpengaruh kepada lingkup pertanggungjawaban pidana bagi pembuatnya.Hukum pidana meminta pertanggungjawaban seseorang berarti mengenakan sifat tercela yang
ada pada tindak pidana terhadap orang
itu, sehingga patut dipidana.
Pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan
yang secara objektif
ada pada tindak pidana,
secara subjektif terhadap pembuatnya.3Sehubungan
dengan Ajaran Penyertaan Pidana,
Simmon juga berpendapat bahwa unsur-unsur strafbaar feit sebagai een daaddader complex." Artinya bahwa
suatu perbuatan pidana meliputi
suatu perbuatan 'yang mencakup
perbuatan-perbuatan yang
beraneka-ragam yang dapat diatur dan ditetapkan sebelumnya, kemudian unsur
kesalahan yang juga
berbagai corak serta "peran maing-masing
pelaku yang bertingkat-tingkat.4Ajaran
Penyertaan Pidana harus
menjadi pedoman yang akan
digunakan bagi semua jenis perbuatan
pidana yang dilakukan
secara bersama-sama baik yang
diatur di dalam
KUHP maupun di luar
KUHP, tetapi apakah
Ajaran Penyertaan Pidana tersebut
masih memadai untuk
diikuti. Pokok pemikirannya sebagai peletak dasar berfikir bisa saja
tetapi pengembangannya harus tetap
dilakukan agar sesuai dengan
kebutuhan penegakan hukum.Padapraktik
hukum ini menjadi
tugas penyidik, penuntut umum
dan hakim dalam mengungkap peran
pelaku pada setiap
perkara untuk diperiksa dan diputus maksudnya dengan kewenangannya itu
agar sempurna sesuai konstruksi peristiwa
pidana yang benar-benar terjadi dan memang pelaku
semuanya memenuhi atau mencocoki rumusan delik.B.Perumusan Masalah1.Bagaimanakah
keberadaan ajaran penyertaan
sebagai perluasan delik
dan perluasan pertanggungjawaban pidana ?2.Bagaimana pertanggungjawaban
pidana pelaku dalam tindak pidana penyertaan ?C.Metode
PenelitianPenelitian ini merupakan
penelitian hukum normatif yang
merupakan salah satu
jenis penelitian yang dikenal
umum dalam kajian ilmu hukum. Mengingat penelitian ini
menggunakan pendekatan normatif
yang tidak bermaksuduntuk menguji
hipotesa, maka titik 3Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana; Dua
Pengertian Dasar dalam Hukum
Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983, hlm. 89.4E.
Utrech Hukum Pidana I Djakarta: Universitas, 1958 hlm. 255. berat penelitian tertuju
pada penelitian kepustakaan. Pengumpulan bahan
hukum dilakukan dengan prosedur
identifikasi dan
inventarisasi hukum positif
sebagai suatu kegiatan
pendahuluan. Biasanya, pada penelitian
hukum normatif yang
diteliti hanya bahan pustaka
atau data sekunder,
yang mencakup bahan hukum
primer, sekunder dan tertier. PEMBAHASANA.Ajaran Penyertaan
Sebagai Perluasan Delik dan Perluasan Pertanggungjawaban
PidanaSebagian besar sarjana
hukum di Belanda dan
di Indonesia berpandangan
bahwa ajaran tentang penyertaan
sebagai strafausdehnungsgrund, yaitu dasar memperluasdapat dipidananya
orang yang tersangkut dalam
terwujudnyadelik, sebagaimana
halnya dengan ajaran
tentang Percobaan dan Pembantuan Pidana. Oleh sebab itu, ketentuan
normatif mengenai penyertaan
diatur dalam Pasal
55 sampai denganPasal
60 KUH Pidana.Namun demikian D.
Hazewinkel Suringa5' berpendapat bahwa penyertaan pidana sebagai
dasar untuk memperluas
pertanggungjawaban pidana selain pelaku yang mewujudkan seluruh isi
delik, orang-orang turut serta mewujudkannya, yang tanpa ketentuan tentang
penyertaan tidak dapat dipidana, oleh
karena mereka tidakmewujudkan
delik, misalnya seseorang pejabat
atau pegawai negeri
yang memerintahkan
anggota masyarakat yang dilayaninya untuk
mendebet sejumlah uang
ke rekening pribadinya, agar
mendapat previllege dalam pelayanan publik.Perbedaan pendapat
ini, sebenarnya tidakperlu
diperuncing secara mendalam
mengingat eksistensi penyertaanpidana
adalah untuk mencapai tujuan
hukum pidana secara
praktis yakni demi kepastian
hukum dan keadilan mengurai secara benar.Seseorang
melakukan tindak pidana sebagaimana
Pompe merumuskan "Strafbaar
feit" adalah suatu pelanggarankaidah (pelanggaran ketertiban umum),
terhadap pelakumempunyai
kesalahan untuk mana pemidanaan adalah wajar untuk 5Hazewinkel-Suringa dalam
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum
Pidana Jakarta: Yarsifwatampone, 2005, hlm. 339.
Lex
CrimenVol. IV/No. 5/Juli/2015124menyelenggarakan ketertiban hukum
dan menjamin kesejahteraan umum,
sehingga orang tersebut harus dimintakan pertanggungjawaban
pidana.Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) "Tanggung jawab
adalah keadaan wajib menanggung segala
sesuatu (kalau terjadi
apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya).6Pidana adalah
kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan dan sebagainya).7Selanjutnya pertangungjawabanpidana adalah
pertanggungjawaban danpidana merupakanungkapan-ungkapan yang terdengar dan digunakan
dalam kehidupan sehari-hari, dalam moral,
agama dan hukum.
Tiga hal ini berkaitan
dengan yang lain,
dan berakar pada suatu
keadaan yang sama,
yaitu adanya suatu pelanggaran terhadap
suatu pelanggaran dan suatu sistem
aturan-aturan.Pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan persoalan keadilan.
Pertangggungjawaban pidana lahir
dengan diteruskannya celaan yang
objektif terhadap perbuatan yang
dinyatakan sebagai tindak pidana berdasarkan hukum
pidana yang berlaku, yang
secara subjektif kepada
pembuat yang memenuhi
persyaratanuntuk dapat dikenai pidana
karena perbuatan tersebut.Dasar dari
adanya tindak pidana
adalah asas legalitas, sedangkan
dasar dapat dipidananya pembuat adalah
asas kesalahan. Ini
berarti bahwa pembuat tindak
pidana hanya akan dipidana jika
ia mempunyai kesalahan
dalam melakukan tindak pidana
tersebut. Kapan seseorang dikatakan
mempunyai kesalahan dalam melakukan
tindak pidana tersebut, merupakan hal menyangkut masalah
pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai kesalahan
bilamana melakukan tindak pidana,
dilihat dari segi
kemasyarakatan ia dapat dicela
oleh karena perbuatan tersebut.8Kesalahan
dalam pengertian seluas-luasnya, yangdapat disamakan dengan
pengertian pertanggungjawaban
dalam hukum pidana, di dalamnya terkandung makna dapat
dicelanyasi pembuat atas perbuatannya. Jadi
apabila 6Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Edisi Kedua,
Jakarta: Balai Pustaka, 1991, hlm.1006.7Ibid, hlm. 776. 8Lihat penjelasan Pasal 31
RUU KUHP 1999-2000, hlm. 22.dikatakan orang bersalah melakukan
sesuatu tindak pidana, maka
itu berarti bahwa
ia dapat dicela atas
perbuatannya.Kesalahan dalamarti
bentuk kesalahan dapat juga
dikatakan kesalahan dalam
arti yuridis, yang berupa pertama, kesengajaan, dan kedua, kealpaan.
Unsur-unsur kesalahan (dalam arti yang seluas-luasnya), ialah: 9a)Adanya
kemampuan bertanggungjawab si
pembuat; keadaan jiwa si
pembuat harus normal;b)Hubungan batin
antara si pembuat
dengan perbuatannya, yakni berupa
kesengajaanatau kealpaaan;c)Tidak
adanya alasan yang
menghapus kesalahan atau tidak adanya alasan
pemaaf.Pertanggungjawaban pidana, ada
suatu pandangan yaitu pandangan monistis dan pandangan yang dualistis. Pandangan yang monistis antara lain
dikemukakan oleh Simons yang
merumuskan bahwa
"strafbaar feit sebagai perbuatan
yang oleh hukum
diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan
oleh seorang yang
bersalah dan orang itu
dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya".Menurut aliran
monisme unsur-unsur strafbaar feit itu meliputi baik
unsur-unsur perbuatan, yang lazim
disebut unsur objektif, maupun unsur-unsur pembuat,
yang lazim dinamakan unsur
subjektif. Oleh karena dicampur antaraunsur perbuatan dan
pembuat, maka dapat
disimpulkan bahwa strafbaar
feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah
dianggap bahwa kalau
terjadi straf baar feit maka
pasti pelakunya dipidana.10Penganut
pandangan monistis tentang strafbaar
feit atau criminal act
berpendapat, bahwa unsurunsur pertanggungjawaban pidana
yang menyangkut pembuat delik
yang meliputi: pertama kemampuan bertanggungjawab; kedua kesalahan dalam
arti luas, yakni
sengaja dan atau kealpaan;
dan ketiga tidak ada alasanpemaaf.119Muladi, Lembaga Pidana
Bersyarat, Bandung: Alumni, 1985,
hlm. 89.10Muladi dan
Dwidja Priyatno,
Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bandung: Sekolah
Tinggi Bandung, 1991, hlm. 50.11A.Z
Abidin, Bunga Rampai Hukum
Pidana, Jakarta: Pradnya Paramita, 1983, hlm, 44.
Lex
CrimenVol. IV/No. 5/Juli/2015125Pandangan
dualistis yang pertama menganutnya
adalah Herman Kontorowicz,12dimana beliau menentang kebenaran pendirian mengenai kesalahan (Schuld) yang ketika
itu berkuasa, yang oleh beliau dinamakan"ObjektiveSchuld';
olehkarena kesalahan dipandang sebagai
sifat dari pada kelakuan.Untuk adanya Strafvoraussetzungen
(syarat-syarat dari penjatuhan
pidana terhadap pembuat) diperlukan lebih
dahulu adanya pembuktian adanya
Strafbare Handlung (perbuatan
pidana), lalu sesudahnyaitu dibuktikan schuld atau kesalahan
subjektif pembuat.13Pandangandualistis ini memudahkan
dalam melakukan suatu sistematika unsur-unsur mana dari suatu
tindak pidana yang
masuk dalam perbuatan dan yang
masuk ke dalam pertanggungjawaban pidana (kesalahan). Sehingga hal
ini mempunyai dampak
positif dalam
menjatuhkansuatu putusan dalam proses pengadilan (HukumAcara
Pidana).14Masalah pertanggungjawaban pidana
berkaitan erat dengan
unsur kesalahan, menurut Sauer,
ada tiga pengertian
dasar dalam hukum pidana,
yaitu: pertama, sifat melawan
hukum (unrecht); kedua kesalahan
(schuld); ketiga pidana
(straff).Untuk adanyapertanggungjawaban
pidana harus jeias terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini
berarti harus dipastikan dahulu siapa
yang dinyatakan sebagai pembuat
untuk suatu tindak
pidana tertentu.Dalam KUHP sendiri
tidak memberikan batasan, KUHP
hanya merumuskannya secara negatif yaitu mempersyaratkan kapan
seseorang dianggap tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatan yang dilakukanmenurut ketentuan
Pasal 44 ayat
(1) KUHP bahwa "seseorang tidak
dapat dimintai
pertanggungjawabannya atas suatu
perbuatan karena dua alasan
yaitu: pertama karena jiwanya
cacat dalam pertumbuhan; kedua 12Herman Kontorowicz, tahun
1933 dalam bukunya dengan judul "Tut und
Schuld" dalam Andi Hamzah Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi Berdasarkan Hukum Pidana
Nasional dan Internasional, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlm. 90.13Moeljatno, Perbuatan Pidana
dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1983, hlm. 22.14Muladi dan Dwidja Priyatno,
Op.Cit, hlm. 55jiwanya terganggukarenapenyakit”.Orangdalam keadaan
demikian, bila melakukan tindak pidana tidak boleh dipidana.Berdasarkan
keterangan di atas, maka dapat kita
tarik kesimpulan mengenai
pengertian pertanggungjawabanpidana
yaitu kemampuan seseorang baik
secara mental maupun
jasmani untuk menanggungkonsekuensi dari perbuatan yang dilakukannnya sesuai
dengan
undang-undang.B.Pertanggungjawaban Pelaku Dalam Tindak Pidana
PenyertaanPersoalannya apakah konsepsi ajaran penyertaan pidana
yang dirumuskan di
dalam Pasal 55 KUH
Pidana sudahmemadai dalam
pemberantasan kejahatan khususnya
tindak pidana korupsi dengan
peran dan struktur pelaku yang
kompleks. Bentuk-bentuk yang dimaksudkan di dalam Pasa155 KUHP Indonesia
sebagai berikut:a.Pelaku pelaksana disebut plegenIstilah plegen yakni mereka
yang melakukan perbuatan pidana.
Dalam memori penjelasan KUHP (memorie van
toelichting) tidak dijumpai
keterangan sedikitpun, padahal plegen diketahui bagian atau termasuk juga dader.Hal ini menjadi
tidak sukar menentukan
siapa yang disebut sebagai plegen atau pelakupidana manakalarumusan delik
berasal dari Buku kedua dan ketiga, tetapi sebaliknya
memerlukan analisis terlebih dulu untuk menentukan plegen yang dirumuskan
di luar dari
Undang-Undang Tindak Pidana Di
luar KUH Pidana,
misalnya Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi; Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan; Undang-Undang No.
23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup; Undang-Undang No.
41 Tahun 1999
tentang Kehutanan.Pelaku
ini bertanggung jawab terhadap suatu tindak pidana yang
dilakukannya secara penuh.b.Pelaku
sebagai penyuruh disebut doen plegenPelaku sebagai
penyuruh perbuatan pidana adalah bentuk
kedua dari penyertaan
yang terdapat di dalam
Pasal 55 KUH
Pidana. Dalam pasaJ tersebut
tidak diterangkan apa yang dimaksud dengan
penyuruh itu, tetapi dalam memorie
van toelicting (memori penjelasan) KUH Pidana Belanda dijelaskan
sebagai berikut:
Lex
CrimenVol. IV/No. 5/Juli/2015126"Penyuruh perbuatan
pidana (doen plegen) adalah juga dia yang
melakukan perbuatan pidana tetapi
tidak secara pribadi, melainkan dengan
perantaraan orang lain,
sebagai alat dalam tangannya,
apabila orang lain
itu berbuat tanpa kesengajaan,
kealpaan atau tanggungjawab karena
keadaan yang tahu, disesatkan atau tunduk pada
kekerasan:c.Pelaku Peserta disebut medeplegenBentuk ketiga
dari penyertaan perbuatan pidana (deelneming) adalah medeplegen
yakni bentuk perbuatan pidana yang berada di antara pelaku pelaksana (plegen) dengan pembantuan (medeplichtig). Pelaku peserta
adalah orang yang turut
serta melakukan sebagian dari unsurunsur delik.
Jadi bedanya antara
pelaku peserta dengan pelaku
pembantu perbuatan pidana adalah:"Pelaku pelaksanan (plegen) sebagai pembuatpidana
tunggal yaitu melaksanakan semua unsur-unsur delik, sedangkan pelaku
peserta hanya melaksanakan sebagian saja
dari unsur-unsur delik
dan bersama dengan temannya menyelesaikan delik itu:"d.Pembujuk
atau penganjur uitlokkenBentuk
keempat dari penyertaan diatur dalam Pasal
55 ayat (1)
sub ke-2 dan
ayat (2) KUH Pidana,
sebagaimana dengan doen plegen bahwa uitlokken juga merupakan auctor intelectualis,
tetapi sebagaimana penyuruh perbuatan pidana
bahwa penganjur atau pembujuk perbuatan pidana tidak
melaksanakan sendiri unsur-unsur delik, melainkan dilaksanakan oleh
arang lain dan perbuatan tersebut
dilakukan oleh orang
lain karena atau disebabkan
anjuran atau bujukan dari penganjur
tersebut.Pertanggungjawaban pidana seorang penganjur atau
pembujuk menurut Vos15harus memenuhi persyaratan pertama, kesengajaan dan penganjuran
atau pembujukan ditujukan terhadap dilaksanakannya suatu
delik; kedua>dengan
upaya-upaya yang disebut
dalam undangundang dan berusaha
agar si pelaksana perbuatan pidana melaksanakan delik
tersebut; ketiga, sipelaksana
perbuatan pidana tergerak hatinya oleh
upaya tersebut; keempat, dengan
dilaksanakannya delik tersebut atau paling tidak percobaan melakukan
delik, si pelaksana perbuatan pidana
dapat dipidana asalkan
atau 15Ibid, hlm. 106.harus
sesuai dengan keinginan
pengajur atau pembujuk.e.Pembantuan
(Medeplechtige)KUH Pidana Indonesia
seperti Wetboek van Strafreht voor
Nederlandcsh (kecuali sebelum
tahun 1886) menganut
perluasan pengaturan penyertaan
pidana yang sama, jika dibandingkan
dengan Code of Penal Perancis yang tidak memasukkan
pembantuan perbuatan pidana sebagai bagian dari penyertaanpidana atau
sebaliknya KUH Pidana Amerika Serikat
yang terlampau jauh
ke muka dengan memasukkan
pembantuan "setelah"
delik terjadi sebagai penyertaan pidana.Pada
dasarnya pembantuan adalah
bentuk ke-5 dari penyertaan yang diatur di dalam Pasal 56, 57
dan60 KUH Pidana.
Definisi pemberian bantuan sebelum
dan ketika delik
terlaksana pada hakekatnya adalah perbuatanyang tidak termasuk perbuatan
pelaksanaan dari suatu delik,
melainkan merupakan perbuatan
"yang mempermudah"
terjadinya suatu delik
atau memperlancar terlaksananya suatu delik. Argumentasi bahwa
pembantuan merupakan bentuk
kelima dari penyertaan menurut hukum pidana
Indonesia adalah sebagaimana
hukum pidana Belanda yang
dikutip dalam KUHP bahwa title v tentang Deelneming aan
strafbare feiten termasuk pula pembantuan
di mana khusus bentuk
kesatu sampai kelima
diatur dalam Pasal 47
dan pembantuan diatur
dalam Pasal 48 Wetboek van
Strafrecht atau Pasal 55 dan 56 KUHP.Berdasarkan Memori Penjelasan
KUH Pidana bahwa pemberian bantuan
adalah sesudah delik selesai
dilakukan, hanya dapat
dijatuhi pidana, apabila pemberian bantuanitu dirumuskan sebagai
"delik khusus"; misalnya seperti tercantum
pada Pasal 221
Sub ke-2 jo. Pasal
223 jo. Pasal
480 dan Pasal
482 KUH Pidana tentang delik
penadahan hasil kejahatan.Secara skematis untuk meminta pertanggungjawaban pidana
kepada pembuat delik atau
pidana dibagi menjadi
2 (dua) yakni pertama, penanggungjawab penuh
dan kedua, penanggungjawab
sebagian. Penangungjawab
penuh sanksi pidana
adalah mereka yang tergolong dader sebagai penanggungjawab mandiri; mededader
sebagai penanggungjawab bersama;
medeplegen sebagai
Lex
CrimenVol. IV/No. 5/Juli/2015127penanggungjawab serta; doen
plegen sebagai penanggungjawab
penyuruh; dan uitlokken sebagai penanggungjawab pembujuk atau perencana. Sedangkan
penanggungjawabsebagian adalah mereka yang tergolong sebagai poger sebagai penanggungjawab percobaan perbuatan pidana
dan medeplichtige sebagai penanggungjawab pemberi
bantuan dalam melakukan
perbuatan pidana.Jadi sebenarnya pengertian penyertaan perbuatan pidana dari aspek
pertanggungjawaban pidana bukan mereka saja yang melakukan
perbuatan pidana sesuai
Pasal 55 ayat (1)
dan ayat (2)
KUH Pidana melainkan juga merekayang melanggar
Pasal 53 dan Pasa156
KUH Pidana. Sebagai
catatan Code of Penal
Perancis tidak memasukan
Pasa156 sebagai bentuk penyertaan pidana.Lebih jauh dapatdikemukakan
bahwa secara doktrinal
pertanggungjawaban pidana dalam ajaran penyertaan
pidana terdapat 2
(dua) paham yakni pertama, sebagaibentuk penyertaan yang
berdiri sendiri disebut zelfstandigevormen van
deelneming yakni pertanggungjawaban
pidana terletak pada setiappeserta yang dihargai
sendiri-sendiri dan kedua,
bentukkesertaan yang tidak
berdiri sendiri disebut
onzelfstand ige vormen
van deelnemingatau
accesoire van deelneming yakni pertanggungjawaban pidana peserta bergantung kepada peserta
pidana lainnya.Pandangan doktrinal mengenai pertanggungjawaban khusus
Pasal 55 KUH Pidana
terkandung pengertian atau
cakupan pertama, bagi mereka yangmelakukanpidana, yakni perijelasannya adalah
bagi mereka yang mencocokirumusan delik
atau memenuhi semua unsur
delik. Pelakunya dapat
seorang dapat lebih dari seorang.Kedua, bagi mereka yang menyuruh melakukan perbuatan
pidana ( dalang)
dengan persyaratan bahwa yang mereka suruh melakukan perbuatan
pidana adalah sakit jiwa
(Pasa1 44 KUH
Pidana); mereka melakukan perbuatan pidana
dalam keadaan keterpaksaan (overmacht); mereka melakukan perintah jabatan yang diberikansecara
tidak sah; mereka keliru
rnenafsirkan mengenai salah
satu unsur delik; mereka
tidalk memiliki tujuan;
dan mereka tidak memiliki
kualitas yang menjadi syarat daripada delik, sedangkan
syarat tersebut hanya ada dan
dimiliki oleh mannus domina (dalang).Ketiga,bagi mereka
yang turut melakukan perbuatan pidana dengan persyaratan
doktrinal bahwa kesertaan itu
harus secara fisik
dan adanya kesadaran dalam
menyertai perbuatan pidana dan
antara keduanya itu
harus pulaadanya hubungan sebab akibat.Kemudian keempat, yakni bagi
mereka yang membujuk untuk
melakukan perbuatan pidana dengan
persyaratan bahwa adanya
penggerak; upaya limitatif (untuk
kepastian hukum berupa janji-janji); yang
digerakkan memilikikemampu dan bertanggungjawab; dan orang yang dibujuk
melakukan perbuatan pidana karena digerakkan oleh pembujuk.Bentuk kesertaan
untuk melakukan perbuatan pidana, pada
umumnya tidak berdiri sendiri disebut onzelfstandige vorm
van deelneming atau accessoire
vorm; tetapi adajuga yang berdiri
sendiri disebut zelfstandige
vorm van
deelneming, misalnya Pasal 236
dan 237 KUH Pidana yang antara lain menyatakan:-Pasak 236 : Barangsiapa
pada waktu damai dengan
memakai salah satu
cara tersebut Pasal 55
Nomor 2 sengaja
menganjurkan seorang anggota tentara
dalam dinas negara, supaya
melarikan diri (disersi),
atau mempermudahkannya
menurut salah satu cara
tersebut Pasal 56,
diancam dengan pidana penjara
paling lama Sembilan bulan':-Pasal237:
"Barangsiapa pada waktu
damai dengan memakai salah
satu cara tersebut Pasal 55
Nomor 2 sengaja menganjurkan supaya ada
huru-hara atau pemberontakan di kalangan
anggota bersenjata dalam
dinas negara (muiterij), atau
mempermudahnya menurut sesuatu cara
yang tersebut dalam Pasal
56, diancam dengan
pidana penjara paling lama tujuh
tahun."Jadi sekali lagi Penulis
menyatakan bahwa masalah
penuntutan pertanggungjawaban pidana
harus untuk menjamin kepastian hukum
dan keadilan.PENUTUPA.Kesimpulan1.Ajaran
tentang penyertaan sebagai
dasar memperluas dapat dipidananya
orang yang tersangkut dalam terwujudnya
delik. Penyertaan diatur dalam
pasal 55 dan 56
KUHP yang berarti
bahwa ada dua
orang
Lex
CrimenVol. IV/No. 5/Juli/2015128atau lebih
yang melakukan suatu
tindak pidana atau dengan
perkataan ada dua orang
atau lebih mengambil
bagian untuk mewujudkan suatu
tindak pidana.2.Secara skematis untuk meminta pertanggungjawaban pidana kepada
pembuat delik atau
pidana dibagi menjadi 2 (dua)
yakni pertama, penanggungjawab penuh dan kedua, penanggungjawab
sebagian. Penangungjawab penuh
sanksi pidana adalah mereka yang
tergolong dader sebagai penanggungjawab mandiri; mededader sebagai
penanggungjawab bersama; medeplegen sebagai penanggungjawab serta; doen plegen
sebagai penanggungjawab penyuruh;
dan uitlokken sebagai penanggungjawab pembujuk atau perencana. Sedangkan penanggungjawab sebagian
adalah mereka yang tergolong
sebagai poger sebagai penanggungjawab
percobaan : perbuatan pidana dan medeplichtige sebagai
penanggungjawab pemberi bantuan
dalam melakukan perbuatan pidana.B.Saran1.Masalah penuntutan
pertanggungjawaban pidana
harus linierdan mengikuti
semua doktrin tentang ruang
lingkup penyertaan perbuatan pidana
sebagaimana maksud
diadakannya ketentuan penyertaan
untuk dapat memperluas dipidananya
seseorang yang tidak secara
penuh atau tidak
sama sekali melakukansecaralangsung.2.Ajaran Penyertaan
Pidana menjadi sangat relevan dalam menuntut
pertanggungjawaban pidana kepada
setiap orang yang mempunyai andil dalam peristiwa pidana.Untuk itu maka
disarankan kepada penyidik, penuntut umum dan hakimuntuk lebih
memahami tentang Ajaran
Penyertaan Pidanadalam mengungkap peran pelaku
pada setiap perkara
untuk diperiksa dan diputus.
JENIS JENIS DEELNEMING
Hukum Dan Undang Undang ~ Dalam proses
penegakan hukum pidana kerap dipergunakan Pasal 55 ayat 1 Ke1 KUHP yang lazim
digunakan dalam penanganan suatu tindak pidana yang terjadi melibatkan lebih
dari satu orang pelaku. Dalam kajian hukum pidana terkait Pasal 55 KUHP itu
secara teoritik dikenal dengan apa yang disebut dengan deelneming (penyertaan). Dalam konteks ini,
deelneming adalah berkaitan dengan suatu peristiwa pidana yang pelakunya lebih
dari 1 (satu) orang, sehingga harus dicari peranan dan tanggung jawab
masing-masing pelaku dari peristiwa pidana itu.
Dalam kaitan itu, maka apabila dihubungkan
antara Pasal 55 KUHP dengan ajaran deelneming, maka sebenarnya tidak ada dalam satu peristiwa
pidana diantara pelaku mempunyai kedudukan dan peranan yang sejajar. Artinya
tidaklah logis apabila dalam penanganan suatu perkara pidana, hakim menyatakan
terbukti Pasal 55 KUHP dengan hanya sebatas menyatakan adanya hubungan
kerjasama secara kolektif. Penggunaan kesimpulan adanya suatu kerjasama
kolektif dalam suatu peristiwa pidana tanpa bisa menunjukkan peran
masing-masing pelaku, sebenarnya proses pembuktian Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHP
adalah tidak sempurna. Bahkan sekaligus menggambarkan proses persidangan telah
gagal menggali kebenaran materil dari perkara yang diperiksa dan diadili.
Jika disimak keberadaan Pasal 55 ayat 1 ke-1
KUHP, maka ada keharusan untuk menemukan peran pelaku dan para pelaku dimintai
pertanggungjawabannya sesuai dengan peranannya masing-masing. Artinya dalam
prinsip deelneming tidaklah bisa semua pelaku adalah
sama-sama sebagai orang yang melakukan, atau sama-sama sebagai orang yang
menyuruh lakukan, apalagi sama-sama sebagai turut serta melakukan. Dalam
konteks ini, suatu peristiwa pidana yang pelakunya lebih dari satu orang
meminta adanya penemuan dari penegak hukum untuk menemukan kedudukan dan peran
dari masing-masing pelaku.
Jenis-jenis Deelneming Atau Keturutsertaan
|
Dalam suatu peristiwa pidana adalah sangat
penting menemukan hubungan antar pelaku dalam menyelesaikan suatu tindak
pidana, yakni bersama-sama melakukan tindak pidana; Seorang mempunyai kehendak
dan merencanakan kejahatan sedangkan ia menggunakan orang lain untuk
melaksanakan tindak pidana tersebut. Seorang saja yang melakukan suatu tindak
pidana, sementara orang lain membantu melaksanakan tidak pidana tersebut.
Secara garis besar bisa dikelompokan,
penyertaan bisa berdiri sendiri, mereka yang melakukan dan turut serta
melakukan. Tanggung jawab pelaku dinilai sendiri-sendiri atas perbuatan yang
dilakukan. Penyertaan bisa juga dalam arti tidak berdiri sendiri, pembujuk,
pembantu dan yang menyuruh untuk melakukan suatu tindak pidana.
Dalam KUHP kita telah menyebutkan
bentuk-bentuk perbuatan penyertaan menurut Pasal 55 atau Pasal 47 WvS N adalah
orang yang plegen, orang yang doen plegen, orang
yang medeplegen dan orang yang uitlokking, keempat
bentuk penyertaan ini dalam hal pemidanaannya dikelompokkan menjadi dua
golongan yaitu pembuat/daders/princippals/autores dan
pembantu/ medeplichtige/accessories/ pembantu, untuk
pembantuan telah ditetapkan pada Pasal 56 (1e) KUHP. Ajaran turut serta adalah
buah pikiran von Feuerbach yang membagi peserta dalam 2 (dua) jenis, yaitu :
·
Mereka
yang lansung berusaha terjadinya peristiwa disebut auctores atau urheber yaitu
yang melakukan inisiatif adalah :
1.
Pelaku
(pleger);
2.
Yang
menyuruh melakukan (doen pleger);
3.
Yang
turut melakukan (medepleger); dan
4.
Yang
membujuk melakukan/pembujuk (uitlokker).
·
Mereka
yang hanya membantu usaha yang dilakukan oleh mereka yang disebut mereka yang
lansung berusaha, disebut gehilfe yaitu yang membantu (medeplichtige).
Disamping pembagian tersebut ada juga
pembagian lain yang dibuat oleh Zevenbergen, Van Hamel, Simons dan Vosyaitu
:
1.
Peserta
yang berdiri sendiri (zelfstandige deelnemers) yaitu pleger, doenpleger
dan mendepleger. Disebut peserta yang berdiri sendiri karena dapat tidaknya
mereka dihukum bergantung kepada apa yang mereka lakukan sendiri.
2.
Peserta
yang tidak berdiri sendiri (onzelfstandige deelnemers atau accessoire
deelnemers) yaitu uitlokker dan mendiplechtige.
Disebut tidak berdiri sendiri karena tidak dapat mereka dihukum, bergantung
kepada apa yang dilakukan oleh orang lain.
Adapun yang dimaksud dengan masing-masing
bentuk turut serta adalah :
a.
Pelaku (Pleger)
Pelaku adalah pembuat lengkap yaitu mereka
yang perbuatannya memuat/memenuhi semua unsur-unsur delik yang bersangkutan.
Berkenaan dengan rumusan hukum pidana tertentu yang tidak tegas siapa (subyek)
dinyatakan melakuan perbuatan pidana dan istilah pleger yang
kadang kala dapat diartikan dader, dalam hukum pidana Jerman menyatakan
semua bentuk orang yang melakukan perbuatan pidana adalah tater (dader)
sebagai perbuatan yang memenuhi syarat rumusan delik, sebaliknya Langemayer
menyatakan semua orang yang mewujudkan perbuatan pidana Pasal 55 KUHP
dinamakan pleger.
b.
Yang Menyuruh Melakukan (doenpleger)
Ajaran ini disebut juga middelijkedaderschap (perbuatan
dengan perantara), yaitu seseorang yang berkehendak melakukan suatu delik,
tidak melakukan sendiri akan tetapi menyuruh orang lain melakukannya.
Menurut Memorie vanToelieting (MvT) didalam
menyuruh melakukan terdapat beberapa unsur, yaitu :
1.
Adanya
seseorang yang dipakai sebagai alat;
2.
Tetapi
tidak bertanggungjawab atas perbuatannya menurut hukum pidana; dan
3.
Orang
yang disuruh tidak dapat dihukum.
c.
Yang Turut Melakukan (medepleger)
Yang dimaksud dengan turut melakukan dalam
KUHP tidak ada penjelasan. Oleh karenanya dalam menafsirkan turut melakukan itu
muncul banyak pendapat yang berbeda-beda satu sama lain.
Menurut Memorie vanToelieting (MvT)
hanya disebutkan bahwa yang turut melakukan adalah tiap orang yang sengaja “meedoet”
(turut berbuat dalam melakukan satu peristiwa pidana).
Van Hamel dan Trapman berpendapat
bahwa turut melakukan itu terjadi apabila perbuatan masing-masing peserta
memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana yang bersangkutan. Simons yang
juga menempatkan yang turut melakukan itu sebagai pembuat, mengemukakan bahwa
yang turut melakukan harus mempunyai pada dirinya semua kwalitet-kwalitet yang
dipunyai oleh seorang pembuat delik yang bersangkutan. Akan tetapi perbuatan
yang dilakukan oleh yang turut melakukan tidak perlu merupakan satu perbuatan
yang penuh.
d.
Yang Membujuk Melakukan (uitlokker)
Maksud yang membujuk melakukan disini adalah
mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan
kekuasaan atau martabat dengan kekerasan atau penyesatan atau dengan memberi
kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya
melakukan perbuatan.
Dari rumasan di atas dapat ditarik beberapa
unsur membujuk yaitu :
1.
Seseorang
atau lebih dengan sengaja membujuk/mengajak/menggerakkan orang lain untuk
melakukan sesuatu delik (tertentu);
2.
Pembujukan
dilakukan harus dengan menggunakan salah satu atau lebih cara/ikhtiar yang
ditentukan secara limitative/terbatas dalam Pasal 55 ayat (1) sub 2e;
3.
Timbulnya
kehendak orang yang dibujuk untuk melakukan delik (tertentu) adalah akibat
bujukan dari sipembujuk (harus ada psychische causaliteit);
4.
Orang
yang dibujuk harus telah melaksanakan atau telah mencoba melaksanakan delik
yang dikehendaki sipembujuk;
5.
Orang
yang dibujuk bertanggungjawab penuh menurut hukum pidana.
e.
Membantu Melakukan (medeplechtigheid) Gehilfe
Bentuk turut serta membantu melakukan ini
diatur dalam Pasal 56 KUHP yang mana dipidana sebagai pembantu kejahatan :
1.
Mereka
yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
2.
Mereka
yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keteranga untuk melakukan
kejahatan.
Maka disimpulkan adalah bahwa membantu
tersebut hanya dapat dihukum dalam membantu kejahatan. Hal ini lebih dipertegas
lagi oleh Pasal 60 KUHP yang menentukan bahwa membantu melakukan pelanggaran
tidak dihukum. Membantu melakukan kejahatan dibedakan atas 2 (dua) jenis, yaitu
:
·
Membantu
melakukan kejahatan (medeplichtigheid bij het plegen van het misdrijf).
Membantu melakukan kejahatan maka bantuan diberikan pada saat kejahatan sedang
dilakukan. Bentuk bantuan dapat berupa berbuat sesuatu (membantu materil) dan
membantu dengan memberikan nasehat (membantu intelektuil).
·
Membantu
untuk melakukan kejahatan (medeplichtigheid tot het plegen van het misdrijf).
Membantu untuk melakukan kejahatan maka bantuan diberikan sebelum kejahatan
dilakukan. Cara membantu ditentukan secara terbatas dalam Pasal 56 KUHP yaitu
memberi kesempatan, daya upaya dan keterangan.
Sumber
Hukum :
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Referensi
:
1.
Kanter.E.Y
dan Sianturi.S.R, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan
Penerapannya. Ctk. ketiga, Storia Grafika, Jakarta, 2002.
2.
Nainggolan
Ojak dan Siagian Nelson, Hukum Tindak Pidana Umum, Cetakan Pertama, Universitas
HKBP Nommensen. Medan. 2009.
3.
Lamintang.P.A.F, Dasar-Dasar
Hukum Pidana Indonesia., Cetakan Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1997.
Hubungan antar peserta dalam menyelesaikan tindak pidana
tersebut, adalah :
1.
Bersama-sama melakukan
kejahatan;
2.
Seorang mempunyai
kehendak dan merencanakan suatu kejahatan sedangkan ia mempergunakan orang lain
untuk melaksanakan tindak pidana tersebut; dan
3.
Seorang saja yang
melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain membantu melaksanakan tindak
pidana tersebut.
Penyertaan dapat dibagi menurut sifatnya :
1.
Bentuk penyertaan
berdiri sendiri: mereka yang melakukan dan yang turut serta melakukan tindak
pidana. Pertanggungjawaban masing-masing peserta dinilai senidiri-sendiri atas
segala perbuatan yang dilakukan.
2.
Bentuk penyertaan yang
tidak berdiri sendiri: pembujuk, pembantu, dan yang menyuruh untuk melakukan
tindak pidana. Pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantungkan pada
perbuatan peserta lain. Apabila peserta satu dihukum yang lain juga.
1.
Dua orang atau lebih
bersama-sama (berbarengan) melakukan suatu tindak pidana,
2.
Ada yang menyuruh dan
ada yang disuruh melakukan suatu tindak pidana,
3.
Ada yang melakukan dan
ada yang turut serta melakukan tindak pidana,
4.
Ada yang menggerakkan
dan ada yang digerakkan dengan syarat-syarat tertentu unutk melakukan tindak
pidana,
5.
Pengurus-pengurus,
anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris yang (dianggapkan)
turut campur dalam suatu pelanggaran tertentu,
6.
Ada petindak (dader)
dan ada pembantu untuk melakukan suatu tindak pidana kejahatan.
Ketentuan pidana dalam Pasal 55 dan 56 KUHP disebut sebagai
suatu pembicaraan mengenai masalah pelaku (dader) dan keturutsertaan (deelneming),
dapat diambil rumusannya bahwa :
·
Dihukum sebagai
pelaku-pelaku dari suatu tindak pidana yaitu :
1.
Mereka yang melakukan,
menyuruh melakukan atau turut melakukan;
2.
Mereka yang dengan
pemberia-pemberian, janji-janji dengan menyalahgunakan kekuasaan atau
keterpandangan, dengan kekerasan, ancaman atau dengan menimbulkan
kesalahpahaman atau dengan memberikan kesempatan sarana-sarana atau
keterangan-keterangan, dengan sengaja telah menggerakkan orang lain untuk
melakukan tindak pidana.
·
Mengenai mereka yang
disebutkan terakhir ini, yang dapat dipertanggungjawabkan kepada mereka itu
adalah tindakan-tindakan yang dengan sengaja telah mereka gerakkan untuk
dilakukan orang lain, berikut akibat-akibatnya.
Sedangkan ketentuan pidana dalam Pasal 56 KUHP disebut sebagai
suatu pembicaraan mengenai masalah pelaku (dader) dan keturutsertaan (deelneming),
dapat diambil rumusannya bahwa :
1.
Mereka yang sengaja
telah memberikan bantuan dalam melakukan kejahatan tersebtu; dan
2.
Merm Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. Ctk. ketiga, Storia Grafika, Jakarta, 2002.
2. Nainggolan Ojak dan Siagian Nelson, Hukum Tindak Pidana Umum, Cetakan Pertama, Universitas HKBP Nommensen. Medan. 2009.
5. http://artonang.blogspot.com/2016/08/pengertian-deelneming-atau.htmleka yang dengan
sengaja telah memberikan kesempatan, sarana-sarana atau keterangan-keterangan
untuk melakukan kejahatan tersebut.
Sumber Hukum :
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Referensi :
1.
Kanter.E.Y dan
Sianturi.S.R, Asas-Asas Hukum