Selasa, 31 Maret 2020

DEELNEMING


Delneming adalah tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang, artinya ada orang lain dalam jumlah tertentu yang turut serta, turut campur, turut berbuat membantu melakukan agar suatu tindak pidana itu terjadi, atau dalam kata lain, orang yang lebih dari satu orang secara bersama-sama melakukan tindak pidana, sehingga harus cari pertanggungjawaban dan peranan masing-masing peserta dalam persitiwa pidana tersebut.
Tujuan deelneming adalah untuk minta pertanggungjawaban terhadap orang-orang yang ikut ambil bagian sehingga terjadinya suatu tindak pidana.
Hubungan antar peserta dalam menyelesaikan tindak pidana tersebut, adalah :
1. Bersama-sama melakukan kejahatan.
2. Seorang mempunyai kehendak dan merencanakan suatu kejahatan sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut.
3. Seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain membantu melaksanakan tindak pidana tersebut.

Penyertaan dapat dibagi menurut sifatnya :
1. Bentuk penyertaan berdiri sendiri: mereka yang melakukan dan yang turut serta melakukan tindak pidana. Pertanggung jawaban masing2 peserta dinilai senidiri-sendiri atas segala perbuatan yang dilakukan.
2. Bentuk penyertaan yang tidak berdiri sendiri: pembujuk, pembantu, dan yang menyuruh untuk melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantungkan pada perbuatan peserta lain. Apabila peserta satu dihukum yang lain juga.

Di dalam KUHP terdapat 2 bentuk penyertaan: 



1. Para Pembuat (mededader) pasal 55 KUHP, yaitu:
a. yang melakukan (plegen)
b. yang menyuruh melakukan (doen plegen)
c. yang turut serta melakukan (mede plegen)
d. yang sengaja menganjurkan (uitlokken)
2. Pembuat Pembantu (madeplichtigheid) 56 KUHP

Pasal 56 KUHP menyebutkan pembantu kejahatan:
a. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu/saat kejahatan dilakukan.
b. Mereka yang memberi kesempatan sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan (sebelum kejahatan dilakukan)

Dengan demikian dapat diketahui siapa saja orang yang dapat membuat tindak pidana dan siapa pula yang terlibat dalam terwujudnya tindak pidana :
1. Pembuat tunggal (dader), kriterianya: (a) dalam mewujudkan tindak pidana tidak ada keterlibatan orang lain baik secara fisik maupun psikis; (b) dia melakukan perbuatan yang telah memenuhi seluruh unsur tindak pidana dalam undang-undang.
2. Para pembuat, ada 4 bentuk
3. Pembuat Pembantu.
Perbedaan antara para pembuat dengan pembuat pembantu adalah: para pembuat (mededader) secara langsung turut serta dalam pelaksanaan tindak pidana, sedangkan pembuat pembantu hanya memberi bantuan yang sedikit atau banyak bermanfaat dalam melaksanakan tindak pidana.
Pembuat yang dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) adalah ia tidak melakukan tindap pidana secara pribadi, melainkan secara bersama-sama dengan orang lain dalam mewujudkan tindak pidana. Apabila dilihat dari perbuatan masing2 peserta berdiri sendiri, tetapi hanya memenuhi sebagian unsur tindak pidana. Dengan demikian semua unsur tindak pidana terpenuhi tidak oleh perbuatan satu peserta, tetapi oleh rangkaian perbuatan semua peserta.
Apabila dalam suatu tindak pidana tersangkut beberapa orang, maka pertanggungjawaban masing-masing orang yang melakukannya adalah tidak sama, tergantung pada hubungan peserta tsb terhadap perbuatan yang dilakukannya dalam suatu tindak pidana tsb.

Berdasarkan pendapat dari para ahli, deelneming terbagi menjadi 2 bagian, yaitu :
1. Zelfstandige deelneming (Deelneming yang berdiri sendiri)
Artinya orang yang turut melakukan tindak pidana pidana tsb diminta pertanggungjawabannya secara sendiri.
2. On Zelfstanddige deelneming (Deelneming yang tidak berdiri sendiri)
Artinya pertangungjawaban orang yang turut melakukan tindak pidana pidana tsb digantungkan kepada orang lain yang turut melakukannya juga.

Orang-orang yang melakukannya dapat dibagi atas 4 macam, yaitu :
1. Pleger (Orang yang melakukan).
Mereka yang termasuk golongan ini adalah pelaku tindak pidana yang melakukan perbuatannya sendiri, baik dengan memakai alat maupun tidak memakai alat. Dengan kata lain, pleger adalah mereka yang memenuhi seluruh unsur yang ada dalam suatu perumusan karakteristik delik pidana dalam setiap pasal.
2. Doen Pleger (Orang yang menyuruh untuk melakukan)
Untuk dapat dikategorikan sebagai doen pleger sedikitnya harus ada dua orang, yaitu ada yang menyuruh (Doen Pleger) dan yang disuruh (Pleger).
Sebab Doen Pleger adalah seseorang yang ingin melakukan tindak pidana, tetapi dia tidak melakukannya sendiri melainkan menggunakan atau menyuruh orang lain, dengan catatan yang dipakai atau disuruh tidak bisa menolak atau menentang kehendak orang yang menyuruh melakukan. Dalam posisi yang demikian, Orang yang disuruh melakukan itu harus pula hanya sekedar menjadi alat (instrumen) belaka, dan perbutan itu sepenuhnya dikendalikan oleh orang yang menyuruh melakukan. Sesungguhnya yang benar-benar melakukan tindak pidana langsung adalah orang yang disuruh melakukan, tetapi yang bertanggung jawab adalah orang lain, yaitu orang yang menyuruh melakukan. Hal ini disebabkan orang yang disuruh melakukan secara hukum tidak bisa dipersalahkan atau tidak dapat dipertanggungjawabkan. Orang yang disuruh mempunyai "dasar-dasar yang menghilangkan sifat pidana. Sebagaimana diatur dalam Pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUH Pidana.
Contoh kasus :
Seorang Perwira Polisi bernama A ingin membalas dendam kepada seorang musuhnya bernama B, untuk melakukan keinginannya tsb ia memerintahkan bawahannya, seorang Bintara Polisi bernama C untuk menangkap B atas tuduhan telah melakukan suatu tindak pidana pencurian.
Dalam hal ini C tidak dapat dihukum atas perampasan kemerdekaan seseorang karena ia berada dibawah perintah dan ia menyangka perintah itu ialah perintah syah. Sedangkan yang dapat dihukum atas tuduhan perampasan kemerdekaan ialah sang Perwira Polisi bernama A.

3. Medepleger (Orang yang turut melakukan).
Turut melakukan berarti bersama-sama melakukan suatu tindak pidana. Sedikitnya harus ada 2 orang, ialah yang melakukan (Pleger) dan orang yang turut melakukan (Medepleger) tindak pidana tsb. Kedua orang ini kesemuanya melakukan perbuatan pelaksanaan suatu tindak pidana tsb.
Ada 2 syarat bagi adanya turut melakukan tindak pidana :
1. Kerjasama yang disadari antara para pelaku atau dalam kata lain suatu kehendak bersama antara mereka.
2. Mereka harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu (kerjasama secara fisik).
Contoh kasus :
A dan B berniat mencuri dirumah C. A masuk dari atap rumah lalu membuka pintu untuk B dapat masuk, Kedua-duanya masuk kedalam rumah dan mengambil barang milik C.
Disini C dihukum sebagai “Medepleger” karena melakukan perbuatan pelaksanaan pencurian tsb.

4. Uitlokker (orang yang membujuk untuk melakukan)
Secara sederhana pengertian uitlokker adalah setiap orang yang menggerakkan atau membujuk orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana. Istilah "menggerakkan" atau "membujuk" ruang lingkup pengertiannya sudah dibatasi oleh Pasal 55 ayat (1) bagian 1 KUH Pidana yaitu dengan cara memberikan atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, memberi kesempatan, sarana dan keterangan. Berbeda dengan "orang yang disuruh melakukan", "orang yang dibujuk tetap" dapat dihukum, karena dia masih tetap mempunyai kesempatan untuk menghindari perbuatan yang dibujukkan kepadanya. Tanggung jawab orang yang membujuk (uitlokker) hanya terbatas pada tindakan dan akibat-akibat dari perbuatan yang dibujuknya, selebih tanggung jawab yang dibujuk sendiri.
Semua golongan yang disebut Pasal 55 KUH Pidana tergolong kepada pelaku tindak pidana, sehingga hukuman buat mereka juga disamakan. Sebaliknya, Pasal 56 KUH Pidana mengatur mengenai orang digolongkan sebagai "orang yang membantu" melakukan tindak pidana (medeplichtig) atau "pembantu". Orang dikatakan termasuk sebagai "yang membantu" tindak pidana jika ia memberikan bantuan kepada pelaku pada saat atau sebelum tindak pidana tersebut dilakukan. Apabilan bantuan diberikan sesudah tindakan, tidak lagi termasuk "orang yang membantu" tetapi termasuk sebagai penadah atau persekongkolan. Sifat bantuan bisa berbentuk apa saja, baik materil maupun moral. Tetapi antara bantuan yang diberikan dengan hasil bantuannya harus ada sebab akibat yang jelas dan berhubungan. Begitupula sifat bantuan harus benar-benar dalam taraf membantu dan bukan merupakan suatu tindakan yang berdiri sendiri. Perbuatan yang sudah berdiri sendiri tidak lagi termasuk "turut membantu" tetapi sudh menjadi "turut melakukan". Inisiatif atau niat harus pula datang dari pihak yang diberi bantuan, sebab jika inisiatif atau niat itu berasal dari orang yang memberi bantuan, sudah termasuk dalam golongan "membujuk melakukan" (uitlokker).
Seseorang dengan sengaja membujuk seseorang untuk melakukan suatu tindak pidana dengan memakai bujuk rayu, pemberian, salah memakai kekuasaan, dsb. Sedikitnya harus ada 2 orang, yaitu yang membujuk dan yang dibujuk.
 Contoh kasus :
Kasus Antasari Azhar.
Antasari diduga meminta Kombes Pol Williardi Wizard untuk membantu mancari orang untuk dapat membantu melakukan suatu tindak pidana pembunuhan. Williardi menyuruh Jerry Hermawan Lo dan Edo untuk membunuh Nasruddin Zulkarnaen seorang, Direktur PT. Putra Rajawali Banjaran (PRB).
Dalam kasus ini Antasari Azhar dan Williardi Wizard dapat sebagai Uitlokker, karena telah membujuk seseorang untuk melakukan suatu tindak pidana pembunuhan terhadap Nasruddin Zulkarnain.

Orang yang sengaja menganjurkan (pembuat penganjur: uitlokker/aktor intelektualis), unsur-unsurnya adalah:
1. Unsur obyektif:
a. Unsur perbuatan, adalah menganjurkan orang lain melakukan perbuatan
b. Caranya ialah:
1) Memberikan sesuatu
2) Menjanjikan sesuatu
3) Menyalahgunakan kekuasaan
4) Menyalahgunakan martabat/jabatan
5) Kekerasan
6) Ancaman
7) Penyesatan
8) Memberi kesempatan
9) Memberi sarana
10) Memberi keterangan.
2. Unsur subyektif: dengan sengaja.
Ada 5 syarat dari seorang pembuat penganjur / pembujuk :
1. Kesengajaan si pembuat penganjur yang harus ditujukan pada 4 hal :
a. Ditujukan pada digunakannya upaya-upaya penganjuran.
b. Ditujukan pada mewujudkan perbuatan menganjurkan beserta akibatnya
c. Ditujukan pada orang lain untuk melakukan perbuatan. Kesengajaan itu harus ditujukan agar orang lain itu melakukan tindak pidana.
Contoh:
A dengan menjanjikan upah sebesar 20 juta kepada B untuk membunuh C. perbuatan yang dimaksud adalah tindak pidana pembunuhan. Di sini kesengajaan A ditujukan pada B untuk melakukan pembunuhan.
Dalam hal ini tidak ditujukan pada orang satu-satunya (B) karena bisa saja yang melaksanakan pembunuhan itu orang lain.
d. Ditujukan pada orang lain yang mampu bertanggung jawab atau dapat dipidana. Hal ini penting untuk membedakan dengan pembuat penyuruh (Doen Pleger)
2. Dalam melakukan perbuatan meganjurkan harus menggunakan cara-cara menganjurkan sebagaimana Pasal 55 ayat (1) dan 2.
Tidaklah boleh dengan menggunakan upaya lain, misalnya menghimbau. Hal ini yang membedakan antara pembuat penganjur dengan pembuat penyuruh. Pada pembuat penyuruh dapat menggunakan segala cara, asalkan pembuat materiilnya tidak dapat dipertanggungjawabkan.
a. Memberikan sesuatu.
Sesuatu di sini hrs berharga, sebab kalau tidak tidak berarti apa-apa/tidak dapat mempengaruhi orang yang dianjurkan. Misalnya uang, mobil, pekerjaan dsb. A memberikan uang 10 jt kepada B untuk membunuh C.
b. Menjanjikan sesuatu
Janji adalah upaya yang dapat menimbulkan kepercayaan bagi orang lain, janji itu belum diwujudkan, tetapi janji itu telah menimbulkan kepercayaan untuk dipenuhi. A berjanji kepada B akan memberikan uang jika berhasil membunuh C
c. Menyalahgunakan kekuasaan.
Adalah menggunakan kekuasaan yang dimiliki secara salah. Kekuasaan ini adalah kekuasaan dalam hubungannya dengan jabatan atau pekerjaan. Oleh karena itu upaya menyalahgunakan kekuasaan di sini diperlukan 2 syarat:
1. Upaya ini digunakan dalam hal yang berhubungan atau dalam ruang lingkup tugas pekerjaan dari pemegang kekuasaan dan orang yang ada di bawah pengaruh kekuasaan (orang yang dianjurkan)
2. Hubungan kekuasaan itu harus ada pada saat dilakukannya upaya penganjuran dan pada saat pelaksanaan tindak pidana sesuai dengan apa yang dianjurkan. Apabila hubungan kekuasaan itu telah putus, maka tidak terdapat penganjuran, karenanya pelaku mempertanggungjawabkan sendiri perbuatannya.
d. Menyalahgunakan martabat
Martabat di sini misalnya orang yang mempunyai kedudukan terhormat, misalnya tokoh politik, pejabat publik, sperti camat, todat, toga, tomas. Kedudukan seperti itu mempunyai kewibawaan yang dapat memberikan pengaruh pada masyarakat atau orang2, pengaruh tsb dapat disalahgunakan. (menyalahgunakan martabat)
e. Menggunakan kekerasan
Menggunakan kekuatan fisik pada orang lain sehingga menimbulkan akibat ketidak berdayaan orang yang menerima kekerasan itu. Tetepi syaratnya adalah berupa ketidakberdayaan yang sifatnya sedemikian rupa sehingga dia masih memiliki kesempatan dan kemungkinan cukup untuk melawan kekerasan itu tanpa resiko yang terlalu besar (menolak segala apa yang dianjurkan)
f. Menggunakan ancaman
Ancaman adalah suatu paksaan yang bersifat psikis yang menekan kehendak orang sedemikian rupa sehingga dia memutuskan kehendak untuk menuruti apa yang dikehendaki oleh orang yang mengancam. Ancaman juga menimbulkan ketidakberdayaan, tetapi tidak bersifat fisik, melainkan psikis, misalnya menimbulkan rasa ketakutan, rasa curiga, was-was. Misalnya akan dilaporkan akan dibuka rahasianya. Ancaman di sini juga hrs dapt menimbulkan kepercayaan bhw yang diancamkan itu akan diwujudkan oleh pengancam. Sebab kalau tidak ada kepercayaan, misalnya hanya bercanda saja, maka hanya pembuat materiilnya saja yang dipidana.
g. Menggunakan penyesatan (kebohongan)
Berupa perbuatan yang sengaja dilakukan untuk mengelabui atau mengkelirukan anggapan atau pendirian orang dengan segala sesuatu yang isinya tidak benar atau bersifat palsu, sehingga orang itu menjadi salah atau keliru dalam pendirian.
Perbedaan penyesatan dalam pembuat penyuruh dan pembuat penganjur adalah:
1. Penyesatan pada bentuk pembuat pembuat penyuruh adalah penyesatan yang ditujukan pada unsur tindak pidana, misal penjahat yang menyuruh kuli untuk menurunkan sebuah kopor milik orang lain. Tetapi penyesatan pada pembuat pengajur tidaklah ditujukan pada unsur tindak pidana tetapi ditujukan pada unsur motif tindak pidana.
Contoh :
A sakit hati pada C dan karenanya A mengehendaki agar C mengalami penderitaan. Untuk itu A menyampaikan berita bohong yang menyesatkan B bahwa C telah berslingkuh dengan isterinya B dengan membuat alibi (pernyataan) palsu, dan dengan sangat meyakinkan A menganjurkan kepada B agar membunuh atau dianiaya saja C. penyesatan di sini adalah ditujukan pada motif agar B sakit hati dan membenci C, atau memberikan dorongan agar timbul sakit hati, benci dan dendam pada B, sehingga mendorong B untuk melakukan sesuai dengan kehendak A. apabila B tersesat dalam pendirian dan kemudian membunuh atau menganiaya C maka terjadi bentuk pembuat penganjur.
2. Berbuat karena tersesat dalam hal unsur tindak pidana, pembuatnya tidak dapat dipidana. Di sini terjadi bentuk pembuat penyuruh yang dipidana adalah pembuat penyuruhnya. Pembuat materiilnya tidak dapat dipidana. Tetapi berbuat karena tersesat dalam hal unsur motif, yang terjadi adalah bentuk pembuat penganjur, dimana keduanya sama2 dapat dipidana.
h. Memberikan kesempatan
Adalah memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi orang lain untuk melakukan tindak pidana. Ex: A penjaga gudang yang menganjurkan kepada B untuk mencuri di gudang dengan kespakatan pembagian hasilnya, sengaja memberi kesempatan kepada B untuk mencuri dengan berpura-pura sakit sehingga pada malam itu dia absen dari tugasnya.
i. Memberikan sarana
Berupa memberikan alat atau bahan untuk digunakan dalam melakukan tindak pidana. Misalnya A penjaga gudang sengaja menganjurkan pada B untuk mencuri di gudang dengan kesepakatan bagi hasil dengan cara memberikan kunci duplikat.
j. Memberikan keterangan
Memberikan informasi, berita-berita yang berupa kalimat yang dapat menarik kehendak orang lain sehingga orang yang menerima informasi itu timbul kehendaknya untuk melakukan suatu tindak pidana, yang kemudian tindak pidana itu benar dilaksanakan.
3. Terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan (pembuat peklaksananya) untuk meakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang dianjurkan adalah disebabkan langsung oleh digunakannya upaya2 penganjuran oleh si pembuat penganjur. Di sini terjadi hubungan sebab akibat. Sebab adalah digunakan upaya penganjuran, dan akibat adalah terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan. Jadi jelaslah inisiatif dalam hal penganjuran selalu dan pasti berasal dari pembuat penganjur. Hal ini pula yang membedakan dengan bentuk pembantuan. Pada pembantuan (pasal 56) inisiatif untuk mewujudkan tindak pidana selalu berasal dari pembuat pelaksananya, dan bukan dari pembuat pembantu.
4. Orang yang dianjurkan (pembuat pelaksanaanya) telah melaksanakan tindak pidana sesuai dengan yang dianjurkan
5. Orang yang dianjurkan adalah orang yang memiliki kemampuan bertanggungjawab

PERTANGGUNG JAWABAN DEELNEMING

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah keberadaan ajaran penyertaan sebagai perluasan delik dan perluasan pertanggungjawaban pidana dan bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku dalam tindak pidana penyertaan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. Ajaran tentang penyertaan sebagai dasar memperluas dapat dipidananya orang yang tersangkut dalam terwujudnya delik. Penyertaan diatur dalam pasal 55 dan 56 KUHP yang berarti bahwa ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau dengan perkataan ada dua orang atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana. 2. Secara skematis untuk meminta pertanggungjawaban pidana kepada pembuat delik atau pidana dibagi menjadi 2 (dua) yakni pertama, penanggungjawab penuh dan kedua, penanggungjawab sebagian. Penangungjawab penuh sanksi pidana adalah mereka yang tergolong dader sebagai penanggungjawab mandiri; mededader sebagai penanggungjawab bersama; medeplegen sebagai penanggungjawab serta; doen plegen sebagai penanggungjawab penyuruh; dan uitlokken sebagai penanggungjawab pembujuk atau perencana. Sedangkan penanggungjawab sebagian adalah mereka yang tergolong sebagai poger sebagai penanggungjawab percobaan : perbuatan pidana dan medeplichtige sebagai penanggungjawab pemberi bantuan dalam melakukan perbuatan pidana.
Membaca rumusan pada tiap pasal ketentuan  hukum  pidana,orang  berkesimpulan bahwa   dalam   tiap   tindak   pidana   hanya   ada seorang    pelaku    yang    akan    kena    hukuman 1Artikel    Skripsi.        Dosen    Pembimbing    : Dr.    Deasy Soeikromo, SH.MH;Fatmah Paparang, SH.MH;Roy Victor Karamoy, SH.MH2Mahasiswa    pada    Fakultas    Hukum    Unsrat.        NIM. 100711214pidana.Dalam  praktik  ternyata  sering  terjadi lebih   dari   seorang   terlibat   dalam   peristiwa tindak pidana. Di samping si pelaku ada seorang atau beberapa orang lain yang turut serta.Kata  "penyertaan"  dalam  judul  bab  ini  yang juga  menjadi  judul  dari  titel  V  Buku  I  KUHP berarti  turut  sertanya  seorang  atau  lebih  pada waktu   seorang   lain   melakukan   suatu   tindak pidana.Rumusan  ini  terlihat pada  Pasal  55  dan Pasal  56  KUHP.Oleh  kedua  pasal  ini  diadakan lima golongan peserta tindak pidana yaitu yang melakukan   perbuatan   (plegen,   dader),   yang menyuruh  melakukan  perbuatan  (doen  plegen, middelijke     dader),    yang     turut    melakukan perbuatan    (medeplegen,    mededader),    yang membujuk supaya perbuatan dilakukan (uitlokken, uitlokker), yang membantu perbuatan (medeplichtig zijn, medeplichtige).Konsep   Ajaran   Penyertaan   dalam   Tindak Pidana  erat  kaitannya  dengan  perbuatan  dan pertanggungjawaban    pidana,konsep    dasar pertanggungjawaban pidana merupakan konsep  sebuah  perbuatan  pidana.  Jadi  Ajaran Penyertaan   Pidana   dan   Pertanggungjawaban Pidana  dalam  hukum  selalu  berpangkal  tolak dari  Ajaran  Penyertaan  Pidana  dan  Perbuatan Pidana dengan dimensi peran dalam penyertaanperbuatan   pidana   dalam   suatu tindak  pidana.Implementasi  hukum  pidana berkaitan dengan pertanggunggjawaban pelaku berarti mengenakan sifat tercela dari perbuatan pidana pada orang itu sesuai dengan peran dan kapasitas    pelaku    atau    kontribusinya    dalam mewujudkan  peristiwa  pidana,  sehingga  patut dijatuhkan  nestapa  kepadanya.  Jadi,  tolok  ukur atau penentuan mengenai cakupan pertanggungjawaban  pidana  sangat  tergantung terhadap rumusan dan ruang lingkup perbuatan pidana    yang    ditentukan    sebelumnya    serta konsep   Ajaran   Penyertaan   di   dalam   hukum pidana  positif.  Konsekuensinya  akan  mengacu kepada   cara   atau   metode   yang   digunakan dalam   menentukan   rumusan   objektif   suatu perbuatan    pidana    dan    Ajaran    Penyertaan Pidana,    sehingga    cakupan    dan    perubahan-perubahannya akan berpengaruh kepada lingkup pertanggungjawaban pidana bagi pembuatnya.Hukum pidana meminta pertanggungjawaban seseorang berarti mengenakan  sifat  tercela yang  ada  pada  tindak pidana   terhadap   orang   itu,   sehingga   patut dipidana.  Pertanggungjawaban  pidana  adalah diteruskannya  celaan  yang  secara  objektif  ada pada  tindak  pidana,  secara  subjektif  terhadap pembuatnya.3Sehubungan    dengan    Ajaran Penyertaan  Pidana,  Simmon  juga  berpendapat bahwa  unsur-unsur strafbaar  feit sebagai een daaddader    complex." Artinya    bahwa    suatu perbuatan   pidana   meliputi   suatu   perbuatan 'yang    mencakup    perbuatan-perbuatan    yang beraneka-ragam yang dapat diatur dan ditetapkan sebelumnya, kemudian unsur kesalahan    yang    juga    berbagai    corak    serta "peran  maing-masing  pelaku  yang  bertingkat-tingkat.4Ajaran   Penyertaan   Pidana   harus   menjadi pedoman   yang   akan   digunakan   bagi   semua jenis  perbuatan  pidana  yang  dilakukan  secara bersama-sama  baik  yang  diatur  di  dalam  KUHP maupun   di   luar   KUHP,   tetapi   apakah   Ajaran Penyertaan   Pidana   tersebut   masih   memadai untuk diikuti.    Pokok    pemikirannya    sebagai peletak dasar berfikir bisa saja tetapi pengembangannya  harus  tetap  dilakukan  agar sesuai dengan kebutuhan penegakan hukum.Padapraktik    hukum    ini    menjadi    tugas penyidik,   penuntut   umum   dan   hakim   dalam mengungkap  peran  pelaku  pada  setiap  perkara untuk diperiksa dan diputus maksudnya dengan kewenangannya    itu    agar    sempurna    sesuai konstruksi  peristiwa  pidana  yang  benar-benar terjadi dan memang pelaku semuanya memenuhi atau mencocoki rumusan delik.B.Perumusan Masalah1.Bagaimanakah keberadaan ajaran penyertaan   sebagai   perluasan   delik   dan perluasan pertanggungjawaban pidana ?2.Bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku dalam tindak pidana penyertaan ?C.Metode PenelitianPenelitian  ini  merupakan  penelitian  hukum normatif   yang   merupakan   salah   satu   jenis penelitian   yang   dikenal   umum   dalam   kajian ilmu hukum. Mengingat penelitian ini menggunakan  pendekatan  normatif  yang  tidak bermaksuduntuk  menguji  hipotesa,  maka  titik 3Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban    Pidana;    Dua    Pengertian    Dasar dalam Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983, hlm. 89.4E.   Utrech Hukum   Pidana   I Djakarta: Universitas, 1958 hlm. 255. berat penelitian     tertuju     pada     penelitian kepustakaan.     Pengumpulan     bahan     hukum dilakukan   dengan   prosedur   identifikasi   dan inventarisasi    hukum    positif    sebagai    suatu kegiatan pendahuluan. Biasanya, pada penelitian  hukum  normatif  yang  diteliti  hanya bahan    pustaka    atau    data    sekunder,    yang mencakup  bahan  hukum  primer,  sekunder  dan tertier. PEMBAHASANA.Ajaran  Penyertaan  Sebagai  Perluasan  Delik dan Perluasan Pertanggungjawaban PidanaSebagian  besar  sarjana  hukum  di  Belanda dan  di  Indonesia  berpandangan  bahwa  ajaran tentang penyertaan sebagai strafausdehnungsgrund, yaitu dasar memperluasdapat   dipidananya   orang   yang tersangkut dalam terwujudnyadelik, sebagaimana   halnya   dengan   ajaran   tentang Percobaan dan Pembantuan Pidana. Oleh sebab itu,  ketentuan  normatif  mengenai penyertaan diatur  dalam  Pasal  55  sampai  denganPasal  60 KUH Pidana.Namun   demikian   D.   Hazewinkel   Suringa5' berpendapat bahwa penyertaan pidana sebagai dasar  untuk  memperluas  pertanggungjawaban pidana selain pelaku yang mewujudkan seluruh isi delik, orang-orang turut serta mewujudkannya, yang tanpa ketentuan tentang penyertaan  tidak  dapat  dipidana,  oleh  karena mereka tidakmewujudkan    delik,    misalnya seseorang  pejabat  atau  pegawai  negeri  yang memerintahkan     anggota     masyarakat     yang dilayaninya  untuk  mendebet  sejumlah  uang  ke rekening  pribadinya,  agar  mendapat previllege dalam pelayanan publik.Perbedaan  pendapat  ini,  sebenarnya  tidakperlu  diperuncing  secara  mendalam  mengingat eksistensi penyertaanpidana   adalah   untuk mencapai  tujuan  hukum  pidana  secara  praktis yakni   demi   kepastian   hukum   dan   keadilan mengurai secara benar.Seseorang melakukan tindak pidana sebagaimana   Pompe   merumuskan "Strafbaar feit" adalah suatu pelanggarankaidah (pelanggaran     ketertiban     umum),     terhadap pelakumempunyai    kesalahan    untuk    mana pemidanaan adalah wajar untuk 5Hazewinkel-Suringa   dalam   Andi   Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Jakarta: Yarsifwatampone, 2005, hlm. 339.
Lex CrimenVol. IV/No. 5/Juli/2015124menyelenggarakan     ketertiban     hukum     dan menjamin        kesejahteraan    umum,    sehingga orang tersebut harus dimintakan pertanggungjawaban pidana.Menurut   Kamus   Besar   Bahasa   Indonesia (KBBI)  "Tanggung  jawab  adalah  keadaan  wajib menanggung  segala  sesuatu  (kalau  terjadi  apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan    sebagainya).6Pidana    adalah    kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan dan sebagainya).7Selanjutnya pertangungjawabanpidana adalah pertanggungjawaban danpidana merupakanungkapan-ungkapan yang terdengar dan   digunakan  dalam  kehidupan  sehari-hari, dalam  moral,  agama  dan  hukum.  Tiga  hal  ini berkaitan  dengan  yang  lain,  dan  berakar  pada suatu  keadaan  yang  sama,  yaitu  adanya  suatu pelanggaran  terhadap  suatu  pelanggaran  dan suatu sistem aturan-aturan.Pertanggungjawaban pidana berkaitan dengan persoalan keadilan. Pertangggungjawaban    pidana    lahir    dengan diteruskannya   celaan   yang   objektif   terhadap perbuatan    yang    dinyatakan    sebagai    tindak pidana     berdasarkan     hukum     pidana     yang berlaku,  yang  secara  subjektif  kepada  pembuat yang    memenuhi persyaratanuntuk    dapat dikenai    pidana    karena   perbuatan    tersebut.Dasar  dari  adanya  tindak  pidana  adalah  asas legalitas,  sedangkan  dasar  dapat  dipidananya pembuat   adalah   asas   kesalahan.   Ini   berarti bahwa   pembuat   tindak   pidana   hanya   akan dipidana  jika  ia  mempunyai  kesalahan  dalam melakukan    tindak    pidana    tersebut.    Kapan seseorang    dikatakan    mempunyai    kesalahan dalam    melakukan    tindak    pidana    tersebut, merupakan hal menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai    kesalahan    bilamana    melakukan tindak  pidana,  dilihat  dari  segi  kemasyarakatan ia     dapat     dicela     oleh     karena     perbuatan tersebut.8Kesalahan  dalam  pengertian  seluas-luasnya, yangdapat disamakan    dengan    pengertian pertanggungjawaban  dalam hukum  pidana,  di dalamnya terkandung makna dapat dicelanyasi pembuat    atas    perbuatannya.    Jadi    apabila 6Departemen  Pendidikan  dan  Kebudayaan Kamus  Besar Bahasa   Indonesia, Edisi   Kedua, Jakarta:   Balai   Pustaka, 1991, hlm.1006.7Ibid, hlm. 776. 8Lihat penjelasan Pasal 31 RUU KUHP 1999-2000, hlm. 22.dikatakan  orang bersalah  melakukan  sesuatu tindak  pidana,  maka  itu  berarti  bahwa  ia  dapat dicela atas perbuatannya.Kesalahan dalamarti    bentuk    kesalahan dapat   juga   dikatakan   kesalahan   dalam   arti yuridis, yang berupa pertama, kesengajaan, dan kedua, kealpaan. Unsur-unsur kesalahan (dalam arti yang seluas-luasnya), ialah: 9a)Adanya   kemampuan   bertanggungjawab si pembuat; keadaan  jiwa  si  pembuat  harus normal;b)Hubungan  batin  antara  si  pembuat  dengan perbuatannya,   yakni   berupa   kesengajaanatau kealpaaan;c)Tidak    adanya    alasan    yang    menghapus kesalahan atau tidak adanya alasan pemaaf.Pertanggungjawaban    pidana,    ada    suatu pandangan    yaitu    pandangan monistis dan pandangan   yang dualistis. Pandangan   yang monistis antara  lain  dikemukakan  oleh  Simons yang    merumuskan     bahwa "strafbaar    feit sebagai  perbuatan  yang  oleh  hukum  diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum,  dilakukan  oleh  seorang  yang  bersalah dan  orang  itu  dianggap  bertanggungjawab  atas perbuatannya".Menurut aliran monisme unsur-unsur strafbaar   feit   itu meliputi   baik   unsur-unsur perbuatan,  yang  lazim  disebut  unsur  objektif, maupun    unsur-unsur    pembuat,    yang    lazim dinamakan     unsur     subjektif.     Oleh     karena dicampur antaraunsur perbuatan dan pembuat,    maka    dapat    disimpulkan    bahwa strafbaar feit adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap  bahwa  kalau  terjadi straf  baar  feit maka   pasti   pelakunya   dipidana.10Penganut pandangan monistis tentang strafbaar  feit atau criminal  act berpendapat,  bahwa  unsurunsur pertanggungjawaban  pidana  yang  menyangkut pembuat delik yang meliputi: pertama kemampuan bertanggungjawab; kedua kesalahan  dalam  arti  luas,  yakni  sengaja  dan atau   kealpaan;   dan ketiga tidak   ada   alasanpemaaf.119Muladi, Lembaga  Pidana  Bersyarat, Bandung:  Alumni, 1985, hlm. 89.10Muladi   dan   Dwidja   Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi  Dalam  Hukum Pidana, Bandung:  Sekolah  Tinggi Bandung, 1991, hlm. 50.11A.Z   Abidin, Bunga   Rampai   Hukum   Pidana, Jakarta: Pradnya Paramita, 1983, hlm, 44.
Lex CrimenVol. IV/No. 5/Juli/2015125Pandangan dualistis yang pertama menganutnya   adalah   Herman   Kontorowicz,12dimana  beliau menentang kebenaran  pendirian mengenai  kesalahan (Schuld) yang  ketika  itu berkuasa, yang oleh beliau dinamakan"ObjektiveSchuld'; olehkarena kesalahan  dipandang  sebagai  sifat   dari  pada kelakuan.Untuk  adanya Strafvoraussetzungen (syarat-syarat  dari  penjatuhan  pidana  terhadap pembuat)    diperlukan    lebih    dahulu    adanya pembuktian adanya Strafbare Handlung (perbuatan     pidana),     lalu     sesudahnyaitu dibuktikan schuld atau    kesalahan    subjektif pembuat.13Pandangandualistis ini  memudahkan  dalam melakukan suatu sistematika unsur-unsur mana dari  suatu  tindak  pidana  yang  masuk  dalam perbuatan dan yang masuk ke dalam pertanggungjawaban pidana (kesalahan). Sehingga   hal   ini   mempunyai   dampak   positif dalam    menjatuhkansuatu    putusan    dalam proses pengadilan (HukumAcara Pidana).14Masalah pertanggungjawaban pidana berkaitan     erat     dengan     unsur     kesalahan, menurut   Sauer,   ada   tiga   pengertian   dasar dalam   hukum   pidana,   yaitu: pertama, sifat melawan   hukum (unrecht);   kedua kesalahan (schuld);  ketiga pidana (straff).Untuk  adanyapertanggungjawaban pidana harus jeias terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan. Ini berarti harus dipastikan     dahulu     siapa     yang     dinyatakan sebagai   pembuat   untuk  suatu   tindak   pidana tertentu.Dalam    KUHP    sendiri    tidak    memberikan batasan,  KUHP  hanya  merumuskannya  secara negatif yaitu mempersyaratkan kapan seseorang dianggap tidak mampu mempertanggungjawabkan     perbuatan     yang dilakukanmenurut  ketentuan  Pasal  44  ayat  (1) KUHP  bahwa  "seseorang  tidak  dapat  dimintai pertanggungjawabannya  atas  suatu  perbuatan karena    dua    alasan    yaitu: pertama karena jiwanya    cacat    dalam    pertumbuhan; kedua 12Herman   Kontorowicz,   tahun   1933   dalam   bukunya dengan   judul "Tut   und   Schuld" dalam   Andi   Hamzah Pemberantasan    Tindak    Pidana    Korupsi    Berdasarkan Hukum  Pidana  Nasional  dan  Internasional, Jakarta:  Raja Grafindo Persada, hlm. 90.13Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1983, hlm. 22.14Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit, hlm. 55jiwanya   terganggukarenapenyakit”.Orangdalam keadaan demikian, bila melakukan tindak pidana tidak boleh dipidana.Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat kita   tarik   kesimpulan   mengenai   pengertian pertanggungjawabanpidana  yaitu  kemampuan seseorang  baik  secara  mental  maupun  jasmani untuk menanggungkonsekuensi dari perbuatan yang   dilakukannnya   sesuai   dengan   undang-undang.B.Pertanggungjawaban Pelaku Dalam Tindak Pidana PenyertaanPersoalannya apakah konsepsi ajaran penyertaan  pidana  yang  dirumuskan  di  dalam Pasal  55  KUH  Pidana sudahmemadai  dalam pemberantasan    kejahatan    khususnya    tindak pidana   korupsi   dengan   peran   dan   struktur pelaku   yang   kompleks.   Bentuk-bentuk   yang dimaksudkan di dalam Pasa155 KUHP Indonesia sebagai berikut:a.Pelaku pelaksana disebut plegenIstilah plegen yakni  mereka  yang  melakukan perbuatan  pidana.  Dalam  memori  penjelasan KUHP (memorie  van  toelichting) tidak  dijumpai keterangan sedikitpun, padahal plegen diketahui bagian atau termasuk  juga dader.Hal ini  menjadi  tidak  sukar  menentukan  siapa  yang disebut   sebagai plegen atau   pelakupidana manakalarumusan   delik   berasal   dari   Buku kedua dan ketiga, tetapi sebaliknya memerlukan analisis terlebih dulu untuk menentukan plegen yang  dirumuskan  di  luar  dari  Undang-Undang Tindak  Pidana  Di  luar  KUH  Pidana,  misalnya Undang-Undang  No.  20  Tahun 2001  tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan;   Undang-Undang   No.   23   Tahun 1997  tentang  Pengelolaan  Lingkungan  Hidup; Undang-Undang  No.  41  Tahun  1999  tentang Kehutanan.Pelaku    ini    bertanggung    jawab terhadap suatu tindak pidana yang dilakukannya secara penuh.b.Pelaku    sebagai    penyuruh    disebut doen plegenPelaku  sebagai  penyuruh  perbuatan  pidana adalah   bentuk   kedua   dari   penyertaan   yang terdapat  di  dalam  Pasal  55  KUH  Pidana.  Dalam pasaJ   tersebut   tidak   diterangkan apa   yang dimaksud  dengan  penyuruh  itu,  tetapi  dalam memorie   van   toelicting (memori   penjelasan) KUH Pidana Belanda dijelaskan sebagai berikut:
Lex CrimenVol. IV/No. 5/Juli/2015126"Penyuruh  perbuatan  pidana (doen  plegen) adalah  juga  dia  yang  melakukan  perbuatan pidana tetapi tidak secara pribadi, melainkan dengan  perantaraan  orang  lain,  sebagai  alat dalam   tangannya,   apabila   orang   lain   itu berbuat  tanpa  kesengajaan,  kealpaan  atau tanggungjawab  karena  keadaan  yang  tahu, disesatkan atau tunduk pada kekerasan:c.Pelaku Peserta disebut medeplegenBentuk   ketiga   dari   penyertaan   perbuatan pidana (deelneming) adalah medeplegen yakni bentuk perbuatan pidana yang berada di antara pelaku  pelaksana (plegen) dengan  pembantuan (medeplichtig). Pelaku   peserta   adalah   orang yang   turut   serta   melakukan   sebagian dari unsurunsur  delik.  Jadi  bedanya  antara  pelaku peserta   dengan   pelaku   pembantu   perbuatan pidana  adalah:"Pelaku  pelaksanan (plegen) sebagai pembuatpidana tunggal yaitu melaksanakan semua unsur-unsur delik, sedangkan  pelaku  peserta  hanya  melaksanakan sebagian    saja    dari    unsur-unsur    delik    dan bersama dengan temannya menyelesaikan delik itu:"d.Pembujuk atau penganjur uitlokkenBentuk    keempat    dari    penyertaan    diatur dalam  Pasal  55  ayat  (1)  sub  ke-2  dan  ayat  (2) KUH  Pidana,  sebagaimana  dengan doen  plegen bahwa uitlokken juga     merupakan auctor intelectualis, tetapi    sebagaimana    penyuruh perbuatan    pidana    bahwa    penganjur    atau pembujuk perbuatan pidana tidak melaksanakan sendiri unsur-unsur delik, melainkan   dilaksanakan   oleh   arang   lain   dan perbuatan  tersebut  dilakukan  oleh  orang  lain karena  atau  disebabkan  anjuran  atau  bujukan dari penganjur tersebut.Pertanggungjawaban pidana seorang penganjur  atau  pembujuk  menurut Vos15harus memenuhi  persyaratan pertama, kesengajaan dan  penganjuran  atau  pembujukan  ditujukan terhadap  dilaksanakannya  suatu  delik; kedua>dengan    upaya-upaya    yang    disebut    dalam undangundang  dan  berusaha  agar  si  pelaksana perbuatan pidana melaksanakan delik tersebut; ketiga, sipelaksana  perbuatan  pidana  tergerak hatinya  oleh  upaya  tersebut; keempat, dengan dilaksanakannya delik tersebut atau paling tidak percobaan    melakukan    delik,    si    pelaksana perbuatan  pidana  dapat  dipidana  asalkan  atau 15Ibid, hlm. 106.harus  sesuai  dengan  keinginan  pengajur  atau pembujuk.e.Pembantuan (Medeplechtige)KUH  Pidana  Indonesia  seperti Wetboek  van Strafreht  voor  Nederlandcsh (kecuali  sebelum tahun  1886)  menganut  perluasan  pengaturan penyertaan pidana yang sama, jika dibandingkan  dengan Code  of  Penal Perancis yang tidak memasukkan pembantuan perbuatan pidana sebagai bagian dari penyertaanpidana  atau  sebaliknya  KUH  Pidana Amerika  Serikat  yang  terlampau  jauh  ke  muka dengan   memasukkan   pembantuan   "setelah" delik terjadi sebagai penyertaan pidana.Pada  dasarnya  pembantuan  adalah  bentuk ke-5 dari penyertaan yang diatur di dalam Pasal 56,  57  dan60  KUH  Pidana.  Definisi  pemberian bantuan  sebelum  dan  ketika  delik  terlaksana pada  hakekatnya  adalah perbuatanyang  tidak termasuk   perbuatan   pelaksanaan   dari   suatu delik,  melainkan  merupakan  perbuatan  "yang mempermudah"   terjadinya   suatu   delik   atau memperlancar terlaksananya suatu delik. Argumentasi   bahwa   pembantuan   merupakan bentuk kelima dari penyertaan menurut hukum pidana  Indonesia  adalah  sebagaimana  hukum pidana    Belanda   yang    dikutip    dalam   KUHP bahwa title v tentang Deelneming aan strafbare feiten termasuk   pula   pembantuan   di   mana khusus   bentuk   kesatu   sampai   kelima   diatur dalam  Pasal  47  dan  pembantuan  diatur  dalam Pasal  48 Wetboek  van  Strafrecht atau  Pasal  55 dan 56 KUHP.Berdasarkan Memori Penjelasan KUH Pidana bahwa   pemberian   bantuan   adalah   sesudah delik   selesai   dilakukan,   hanya   dapat   dijatuhi pidana, apabila pemberian bantuanitu dirumuskan   sebagai   "delik   khusus";   misalnya seperti  tercantum  pada  Pasal  221  Sub  ke-2  jo. Pasal  223  jo.  Pasal  480  dan  Pasal  482  KUH Pidana tentang delik penadahan hasil kejahatan.Secara skematis untuk meminta pertanggungjawaban  pidana  kepada  pembuat delik  atau  pidana  dibagi  menjadi  2  (dua)  yakni pertama, penanggungjawab  penuh  dan kedua, penanggungjawab   sebagian.   Penangungjawab penuh    sanksi    pidana    adalah    mereka    yang tergolong dader sebagai    penanggungjawab mandiri; mededader sebagai  penanggungjawab bersama; medeplegen sebagai
Lex CrimenVol. IV/No. 5/Juli/2015127penanggungjawab  serta; doen  plegen sebagai penanggungjawab    penyuruh;    dan uitlokken sebagai     penanggungjawab     pembujuk     atau perencana. Sedangkan penanggungjawabsebagian adalah mereka yang tergolong sebagai poger sebagai   penanggungjawab   percobaan perbuatan  pidana  dan medeplichtige sebagai penanggungjawab    pemberi    bantuan    dalam melakukan perbuatan pidana.Jadi    sebenarnya    pengertian    penyertaan perbuatan pidana dari aspek pertanggungjawaban pidana bukan mereka saja yang  melakukan  perbuatan  pidana  sesuai  Pasal 55  ayat  (1)  dan  ayat  (2)  KUH  Pidana  melainkan juga merekayang   melanggar   Pasal   53   dan Pasa156  KUH  Pidana.  Sebagai  catatan Code  of Penal Perancis    tidak    memasukan    Pasa156 sebagai bentuk penyertaan pidana.Lebih jauh dapatdikemukakan bahwa secara doktrinal   pertanggungjawaban   pidana   dalam ajaran   penyertaan   pidana   terdapat   2   (dua) paham yakni pertama, sebagaibentuk penyertaan     yang     berdiri     sendiri     disebut zelfstandigevormen    van    deelneming yakni pertanggungjawaban    pidana    terletak    pada setiappeserta yang  dihargai  sendiri-sendiri  dan kedua, bentukkesertaan   yang   tidak   berdiri sendiri   disebut onzelfstand   ige   vormen   van deelnemingatau    accesoire    van    deelneming yakni    pertanggungjawaban    pidana peserta bergantung kepada peserta pidana lainnya.Pandangan doktrinal mengenai pertanggungjawaban    khusus    Pasal    55    KUH Pidana   terkandung   pengertian   atau   cakupan pertama, bagi  mereka  yangmelakukanpidana, yakni  perijelasannya  adalah  bagi  mereka  yang mencocokirumusan    delik    atau    memenuhi semua  unsur  delik.  Pelakunya  dapat  seorang dapat lebih dari seorang.Kedua, bagi mereka yang menyuruh melakukan  perbuatan  pidana  (  dalang)  dengan persyaratan bahwa yang mereka suruh melakukan  perbuatan  pidana  adalah  sakit  jiwa (Pasa1   44   KUH   Pidana);   mereka   melakukan perbuatan  pidana  dalam  keadaan  keterpaksaan (overmacht); mereka     melakukan     perintah jabatan yang diberikansecara tidak sah; mereka keliru  rnenafsirkan  mengenai  salah  satu  unsur delik;    mereka    tidalk    memiliki    tujuan;    dan mereka  tidak  memiliki  kualitas  yang  menjadi syarat daripada delik, sedangkan syarat tersebut hanya  ada  dan  dimiliki  oleh mannus  domina (dalang).Ketiga,bagi  mereka  yang  turut  melakukan perbuatan pidana dengan persyaratan doktrinal bahwa   kesertaan   itu   harus   secara   fisik   dan adanya  kesadaran  dalam  menyertai  perbuatan pidana   dan   antara   keduanya   itu   harus pulaadanya hubungan sebab akibat.Kemudian keempat, yakni  bagi  mereka  yang membujuk  untuk  melakukan  perbuatan  pidana dengan  persyaratan  bahwa  adanya  penggerak; upaya  limitatif  (untuk  kepastian  hukum  berupa janji-janji);  yang  digerakkan memilikikemampu dan bertanggungjawab; dan orang yang dibujuk melakukan perbuatan pidana karena digerakkan oleh pembujuk.Bentuk kesertaan untuk melakukan perbuatan  pidana,  pada  umumnya  tidak  berdiri sendiri     disebut onzelfstandige     vorm     van deelneming atau accessoire  vorm; tetapi adajuga  yang  berdiri  sendiri  disebut zelfstandige vorm  van  deelneming, misalnya  Pasal  236  dan 237 KUH Pidana yang antara lain menyatakan:-Pasak  236  :  Barangsiapa  pada  waktu  damai dengan   memakai  salah  satu  cara  tersebut Pasal  55   Nomor  2   sengaja   menganjurkan seorang     anggota     tentara     dalam     dinas negara,  supaya  melarikan  diri  (disersi),  atau mempermudahkannya  menurut  salah  satu cara   tersebut   Pasal   56,   diancam   dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan':-Pasal237:  "Barangsiapa  pada  waktu  damai dengan  memakai  salah  satu  cara  tersebut Pasal  55   Nomor  2 sengaja   menganjurkan supaya  ada  huru-hara  atau  pemberontakan di  kalangan  anggota  bersenjata  dalam  dinas negara (muiterij), atau   mempermudahnya menurut  sesuatu  cara  yang  tersebut  dalam Pasal  56,  diancam  dengan  pidana  penjara paling lama tujuh tahun."Jadi sekali  lagi  Penulis  menyatakan  bahwa masalah penuntutan pertanggungjawaban pidana   harus untuk    menjamin kepastian hukum dan keadilan.PENUTUPA.Kesimpulan1.Ajaran   tentang   penyertaan   sebagai   dasar memperluas  dapat  dipidananya  orang  yang tersangkut dalam terwujudnya delik. Penyertaan  diatur  dalam  pasal  55  dan  56 KUHP  yang  berarti  bahwa  ada  dua  orang
Lex CrimenVol. IV/No. 5/Juli/2015128atau   lebih   yang   melakukan   suatu   tindak pidana   atau   dengan   perkataan   ada   dua orang  atau  lebih  mengambil  bagian  untuk mewujudkan suatu tindak pidana.2.Secara skematis untuk meminta pertanggungjawaban pidana kepada pembuat  delik  atau  pidana  dibagi menjadi  2 (dua)    yakni pertama, penanggungjawab penuh dan kedua, penanggungjawab sebagian.   Penangungjawab    penuh    sanksi pidana  adalah  mereka yang  tergolong dader sebagai penanggungjawab mandiri; mededader sebagai penanggungjawab bersama; medeplegen sebagai penanggungjawab serta; doen plegen sebagai   penanggungjawab   penyuruh;   dan uitlokken sebagai penanggungjawab pembujuk atau     perencana.     Sedangkan penanggungjawab  sebagian  adalah  mereka yang    tergolong    sebagai poger sebagai penanggungjawab   percobaan   :   perbuatan pidana dan medeplichtige sebagai penanggungjawab  pemberi  bantuan  dalam melakukan perbuatan pidana.B.Saran1.Masalah   penuntutan   pertanggungjawaban pidana   harus   linierdan  mengikuti   semua doktrin  tentang  ruang  lingkup  penyertaan perbuatan    pidana    sebagaimana    maksud diadakannya   ketentuan   penyertaan   untuk dapat   memperluas   dipidananya   seseorang yang  tidak  secara  penuh  atau  tidak  sama sekali melakukansecaralangsung.2.Ajaran   Penyertaan   Pidana   menjadi   sangat relevan dalam menuntut pertanggungjawaban  pidana  kepada  setiap orang yang mempunyai andil dalam peristiwa pidana.Untuk itu maka disarankan kepada penyidik, penuntut umum dan hakimuntuk    lebih    memahami    tentang Ajaran Penyertaan     Pidanadalam     mengungkap peran   pelaku   pada   setiap   perkara   untuk diperiksa dan diputus.
JENIS JENIS DEELNEMING
Hukum Dan Undang Undang ~ Dalam proses penegakan hukum pidana kerap dipergunakan Pasal 55 ayat 1 Ke1 KUHP yang lazim digunakan dalam penanganan suatu tindak pidana yang terjadi melibatkan lebih dari satu orang pelaku. Dalam kajian hukum pidana terkait Pasal 55 KUHP itu secara teoritik dikenal dengan apa yang disebut dengan deelneming (penyertaan). Dalam konteks ini, deelneming adalah berkaitan dengan suatu peristiwa pidana yang pelakunya lebih dari 1 (satu) orang, sehingga harus dicari peranan dan tanggung jawab masing-masing pelaku dari peristiwa pidana itu.

Dalam kaitan itu, maka apabila dihubungkan antara Pasal 55 KUHP dengan ajaran deelneming, maka sebenarnya tidak ada dalam satu peristiwa pidana diantara pelaku mempunyai kedudukan dan peranan yang sejajar. Artinya tidaklah logis apabila dalam penanganan suatu perkara pidana, hakim menyatakan terbukti Pasal 55 KUHP dengan hanya sebatas menyatakan adanya hubungan kerjasama secara kolektif. Penggunaan kesimpulan adanya suatu kerjasama kolektif dalam suatu peristiwa pidana tanpa bisa menunjukkan peran masing-masing pelaku, sebenarnya proses pembuktian Pasal 55 ayat 1 Ke-1 KUHP adalah tidak sempurna. Bahkan sekaligus menggambarkan proses persidangan telah gagal menggali kebenaran materil dari perkara yang diperiksa dan diadili.

Jika disimak keberadaan Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP, maka ada keharusan untuk menemukan peran pelaku dan para pelaku dimintai pertanggungjawabannya sesuai dengan peranannya masing-masing. Artinya dalam prinsip deelneming tidaklah bisa semua pelaku adalah sama-sama sebagai orang yang melakukan, atau sama-sama sebagai orang yang menyuruh lakukan, apalagi sama-sama sebagai turut serta melakukan. Dalam konteks ini, suatu peristiwa pidana yang pelakunya lebih dari satu orang meminta adanya penemuan dari penegak hukum untuk menemukan kedudukan dan peran dari masing-masing pelaku.

Jenis-jenis Deelneming Atau Keturutsertaan
Dalam suatu peristiwa pidana adalah sangat penting menemukan hubungan antar pelaku dalam menyelesaikan suatu tindak pidana, yakni bersama-sama melakukan tindak pidana; Seorang mempunyai kehendak dan merencanakan kejahatan sedangkan ia menggunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut. Seorang saja yang melakukan suatu tindak pidana, sementara orang lain membantu melaksanakan tidak pidana tersebut.

Secara garis besar bisa dikelompokan, penyertaan bisa berdiri sendiri, mereka yang melakukan dan turut serta melakukan. Tanggung jawab pelaku dinilai sendiri-sendiri atas perbuatan yang dilakukan. Penyertaan bisa juga dalam arti tidak berdiri sendiri, pembujuk, pembantu dan yang menyuruh untuk melakukan suatu tindak pidana.

Dalam KUHP kita telah menyebutkan bentuk-bentuk perbuatan penyertaan menurut Pasal 55 atau Pasal 47 WvS N adalah orang yang plegen, orang yang doen plegen, orang yang medeplegen dan orang yang uitlokking, keempat bentuk penyertaan ini dalam hal pemidanaannya dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu pembuat/daders/princippals/autores dan pembantu/ medeplichtige/accessories/ pembantu, untuk pembantuan telah ditetapkan pada Pasal 56 (1e) KUHP. Ajaran turut serta adalah buah pikiran von Feuerbach yang membagi peserta dalam 2 (dua) jenis, yaitu :
·                     Mereka yang lansung berusaha terjadinya peristiwa disebut auctores atau urheber yaitu yang melakukan inisiatif adalah :
1.             Pelaku (pleger);
2.             Yang menyuruh melakukan (doen pleger);
3.             Yang turut melakukan (medepleger); dan
4.             Yang membujuk melakukan/pembujuk (uitlokker).
·                     Mereka yang hanya membantu usaha yang dilakukan oleh mereka yang disebut mereka yang lansung berusaha, disebut gehilfe yaitu yang membantu (medeplichtige).
Disamping pembagian tersebut ada juga pembagian lain yang dibuat oleh Zevenbergen, Van Hamel, Simons dan Vosyaitu :
1.             Peserta yang berdiri sendiri (zelfstandige deelnemers) yaitu pleger, doenpleger dan mendepleger. Disebut peserta yang berdiri sendiri karena dapat tidaknya mereka dihukum bergantung kepada apa yang mereka lakukan sendiri.
2.             Peserta yang tidak berdiri sendiri (onzelfstandige deelnemers atau accessoire deelnemers) yaitu uitlokker dan mendiplechtige. Disebut tidak berdiri sendiri karena tidak dapat mereka dihukum, bergantung kepada apa yang dilakukan oleh orang lain.
Adapun yang dimaksud dengan masing-masing bentuk turut serta adalah :
a. Pelaku (Pleger)
Pelaku adalah pembuat lengkap yaitu mereka yang perbuatannya memuat/memenuhi semua unsur-unsur delik yang bersangkutan. Berkenaan dengan rumusan hukum pidana tertentu yang tidak tegas siapa (subyek) dinyatakan melakuan perbuatan pidana dan istilah pleger yang kadang kala dapat diartikan dader, dalam hukum pidana Jerman menyatakan semua bentuk orang yang melakukan perbuatan pidana adalah tater (dader) sebagai perbuatan yang memenuhi syarat rumusan delik, sebaliknya Langemayer menyatakan semua orang yang mewujudkan perbuatan pidana Pasal 55 KUHP dinamakan pleger.
b. Yang Menyuruh Melakukan (doenpleger)
Ajaran ini disebut juga middelijkedaderschap (perbuatan dengan perantara), yaitu seseorang yang berkehendak melakukan suatu delik, tidak melakukan sendiri akan tetapi menyuruh orang lain melakukannya. Menurut Memorie vanToelieting (MvT) didalam menyuruh melakukan terdapat beberapa unsur, yaitu :
1.             Adanya seseorang yang dipakai sebagai alat;
2.             Tetapi tidak bertanggungjawab atas perbuatannya menurut hukum pidana; dan
3.             Orang yang disuruh tidak dapat dihukum.
c. Yang Turut Melakukan (medepleger)
Yang dimaksud dengan turut melakukan dalam KUHP tidak ada penjelasan. Oleh karenanya dalam menafsirkan turut melakukan itu muncul banyak pendapat yang berbeda-beda satu sama lain.

Menurut Memorie vanToelieting (MvT) hanya disebutkan bahwa yang turut melakukan adalah tiap orang yang sengaja “meedoet” (turut berbuat dalam melakukan satu peristiwa pidana).

Van Hamel dan Trapman berpendapat bahwa turut melakukan itu terjadi apabila perbuatan masing-masing peserta memuat semua anasir-anasir peristiwa pidana yang bersangkutan. Simons yang juga menempatkan yang turut melakukan itu sebagai pembuat, mengemukakan bahwa yang turut melakukan harus mempunyai pada dirinya semua kwalitet-kwalitet yang dipunyai oleh seorang pembuat delik yang bersangkutan. Akan tetapi perbuatan yang dilakukan oleh yang turut melakukan tidak perlu merupakan satu perbuatan yang penuh.
d. Yang Membujuk Melakukan (uitlokker)
Maksud yang membujuk melakukan disini adalah mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat dengan kekerasan atau penyesatan atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

Dari rumasan di atas dapat ditarik beberapa unsur membujuk yaitu :
1.             Seseorang atau lebih dengan sengaja membujuk/mengajak/menggerakkan orang lain untuk melakukan sesuatu delik (tertentu);
2.             Pembujukan dilakukan harus dengan menggunakan salah satu atau lebih cara/ikhtiar yang ditentukan secara limitative/terbatas dalam Pasal 55 ayat (1) sub 2e;
3.             Timbulnya kehendak orang yang dibujuk untuk melakukan delik (tertentu) adalah akibat bujukan dari sipembujuk (harus ada psychische causaliteit);
4.             Orang yang dibujuk harus telah melaksanakan atau telah mencoba melaksanakan delik yang dikehendaki sipembujuk;
5.             Orang yang dibujuk bertanggungjawab penuh menurut hukum pidana.
e. Membantu Melakukan (medeplechtigheid) Gehilfe
Bentuk turut serta membantu melakukan ini diatur dalam Pasal 56 KUHP yang mana dipidana sebagai pembantu kejahatan :
1.             Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
2.             Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keteranga untuk melakukan kejahatan.
Maka disimpulkan adalah bahwa membantu tersebut hanya dapat dihukum dalam membantu kejahatan. Hal ini lebih dipertegas lagi oleh Pasal 60 KUHP yang menentukan bahwa membantu melakukan pelanggaran tidak dihukum. Membantu melakukan kejahatan dibedakan atas 2 (dua) jenis, yaitu :
·                     Membantu melakukan kejahatan (medeplichtigheid bij het plegen van het misdrijf). Membantu melakukan kejahatan maka bantuan diberikan pada saat kejahatan sedang dilakukan. Bentuk bantuan dapat berupa berbuat sesuatu (membantu materil) dan membantu dengan memberikan nasehat (membantu intelektuil).
·                     Membantu untuk melakukan kejahatan (medeplichtigheid tot het plegen van het misdrijf). Membantu untuk melakukan kejahatan maka bantuan diberikan sebelum kejahatan dilakukan. Cara membantu ditentukan secara terbatas dalam Pasal 56 KUHP yaitu memberi kesempatan, daya upaya dan keterangan.
Sumber Hukum :
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Referensi :
1.             Kanter.E.Y dan Sianturi.S.R, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. Ctk. ketiga, Storia Grafika, Jakarta, 2002.
2.             Nainggolan Ojak dan Siagian Nelson, Hukum Tindak Pidana Umum, Cetakan  Pertama, Universitas HKBP Nommensen. Medan. 2009.
3.             Lamintang.P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia., Cetakan Ketiga, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997.
Hubungan antar peserta dalam menyelesaikan tindak pidana tersebut, adalah :
1.             Bersama-sama melakukan kejahatan;
2.             Seorang mempunyai kehendak dan merencanakan suatu kejahatan sedangkan ia mempergunakan orang lain untuk melaksanakan tindak pidana tersebut; dan
3.             Seorang saja yang melaksanakan tindak pidana, sedangkan orang lain membantu melaksanakan tindak pidana tersebut.
Penyertaan dapat dibagi menurut sifatnya :
1.             Bentuk penyertaan berdiri sendiri: mereka yang melakukan dan yang turut serta melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban masing-masing peserta dinilai senidiri-sendiri atas segala perbuatan yang dilakukan.
2.             Bentuk penyertaan yang tidak berdiri sendiri: pembujuk, pembantu, dan yang menyuruh untuk melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantungkan pada perbuatan peserta lain. Apabila peserta satu dihukum yang lain juga.


Dalam Bab V KUHP yang ditentukan mengenai penyertaan terbatas hanya sejauh yang tercantum dalam Pasal 55 sampai 60 yang pada garis besarnya berbetuk penyertaan dalam arti sempit (Pasal 55) dan pembantuan (Pasal 56 dan 59). Sehingga bentuk-bentuk ini diperinci menjadi unsur-unsur dari turut serta (deelneming) yaitu :
1.             Dua orang atau lebih bersama-sama (berbarengan) melakukan suatu tindak pidana,
2.             Ada yang menyuruh dan ada yang disuruh melakukan suatu tindak pidana,
3.             Ada yang melakukan dan ada yang turut serta melakukan tindak pidana,
4.             Ada yang menggerakkan dan ada yang digerakkan dengan syarat-syarat tertentu unutk melakukan tindak pidana,
5.             Pengurus-pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris yang (dianggapkan) turut campur dalam suatu pelanggaran tertentu,
6.             Ada petindak (dader) dan ada pembantu untuk melakukan suatu tindak pidana kejahatan.
Ketentuan pidana dalam Pasal 55 dan 56 KUHP disebut sebagai suatu pembicaraan mengenai masalah pelaku (dader) dan keturutsertaan (deelneming), dapat diambil rumusannya bahwa :
·                     Dihukum sebagai pelaku-pelaku dari suatu tindak pidana yaitu :
1.             Mereka yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan;
2.             Mereka yang dengan pemberia-pemberian, janji-janji dengan menyalahgunakan kekuasaan atau keterpandangan, dengan kekerasan, ancaman atau dengan menimbulkan kesalahpahaman atau dengan memberikan kesempatan sarana-sarana atau keterangan-keterangan, dengan sengaja telah menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana.
·                     Mengenai mereka yang disebutkan terakhir ini, yang dapat dipertanggungjawabkan kepada mereka itu adalah tindakan-tindakan yang dengan sengaja telah mereka gerakkan untuk dilakukan orang lain, berikut akibat-akibatnya.
Sedangkan ketentuan pidana dalam Pasal 56 KUHP disebut sebagai suatu pembicaraan mengenai masalah pelaku (dader) dan keturutsertaan (deelneming), dapat diambil rumusannya bahwa :
1.             Mereka yang sengaja telah memberikan bantuan dalam melakukan kejahatan tersebtu; dan
2.             Merm Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya. Ctk. ketiga, Storia Grafika, Jakarta, 2002.

2.             Nainggolan Ojak dan Siagian Nelson, Hukum Tindak Pidana Umum, Cetakan  Pertama, Universitas HKBP Nommensen. Medan. 2009.

5.             http://artonang.blogspot.com/2016/08/pengertian-deelneming-atau.htmleka yang dengan sengaja telah memberikan kesempatan, sarana-sarana atau keterangan-keterangan untuk melakukan kejahatan tersebut. 
Sumber Hukum :
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Referensi :
1.             Kanter.E.Y dan Sianturi.S.R, Asas-Asas Hukum